Cerita Tentang Luka dan Airmata

by 18.58 0 komentar

Oleh : Bella Tresna Natasha, A.Md

Kemarin adalah salah satu hari paling indah dalam hidupku. Wisuda; satu waktu yang paling dinanti mereka yang mencicipi bangku kuliah. Banyak orang yang menilai berlebihan pada capaianku hari itu. Menyelesaikan studi diploma dalam waktu 2,5 tahun, dengan IPK yang meski tidak luar biasa namun hampir ada di angka 3.5, dengan cukup pengalaman organisasi dan list prestasi yang membuat poin Sistem Kredit Prestasi ku nyaris berada di angka 500 (dengan ketentuan kampus minimal 80 poin). Percayalah, setiap capaian memiliki cerita perjuangannya sendiri. Semua “penyelesaian” ini bermula dari kisah seorang remaja galau yang merasa salah jurusan, merasa sudah gagal dari awal, dan tidak tahu bagaimana bisa bertahan hingga akhir.
Aku mengawali masa kuliah dengan kemuraman. Bagaimana tidak, aku ditolak mentah-mentah oleh program studi yang sudah ku idamkan sejak 5-6 tahun sebelumnya. Ditambah lagi saat itu aku berada di program studi yang tidak ku senangi. Semester pertama, aku sering melewati malam dengan tangisan, masih beum ikhlas dengan takdir. Iri pada mereka yang kuliah S1, sedangkan aku HANYA kuliah D3 dengan jurusan yang entah seberapa besar peluangnya di dunia kerja. Sebagai pelarian, aku mencoba menenggelamkan diri dalam berbagai macam kegiatan dan organisasi kampus. Pada awal perkuliahan, aku sempat aktif di tiga Unit Kegiatan Mahasiswa (semacam ekstrakurikuler di SMA), satu Unit Kegiatan Fakultas, dan Himpunan Mahasiswa Program Studi. Berhasil kah? Lumayan. Boleh lah sedikit stress saat kuliah, tapi bisa bersenang-senang dengan kegiatan organisasi.
Pada semester ketiga, aku kembali mengikuti SBMPTN dan diterima di salah satu kampus. Sayangnya, dengan jurusan yang tidak berbeda jauh dengan jurusanku saat itu. Tentu, di kampus yang baru ini aku diterima di program S1.  Dengan kenekatan, kuliah-lah aku di dua kampus pada semester itu. Pada waktu memutuskannya, aku berpikir, S1 tentu lebih baik daripada D3. Namun untuk melepaskan pendidikan D3-ku yang sudah setengah jalan juga sayang.
Kuliah “double-degree”ku hanya berjalan satu semester. Mengapa? Banyak alasan. Yang pertama, aku tidak menemukan kepuasan seperti yang ku kira akan ku dapat dengan memilih kuliah S1. Tidak ada bedanya, bahkan aku merasa lebih cocok kuliah di D3 mengingat lebih banyaknya praktek yang ku dapat daripada di S1 (aku tipe orang yang tidak terlalu nyaman belajar dengan buku-buku tebal). Kedua, kuliah di dua tempat tersebut semakin membuatku jenuh kuliah. Ibaratnya, sudah eneg dengan sepiring makanan, tapi malah berusaha melahap dua piring. Ketiga, kejenuhan pada kuliah semakin menumbuhkan keberanian untuk mengambil jalanku sendiri dalam mengembangkan passionku. Aku mulai ingin menambah porsi kegiatan-kegiatan yang “berguna” untuk perkembangan passionku.
Semester berikutnya, ku lepaskan kuliah S1-ku demi kuliah D3-ku. Menyesalkah membuang waktu satu semester di tempat lain? Tidak. Dari pengalaman itu, Allah menegurku untuk berhenti mengeluh dan menyalahkan keadaan. Allah menyadarkan bahwa Allah tidak pernah menjerumuskanku, Allah selalu memberikan yang terbaik bagiku. Begitupun dengan kuliahku saat itu. Semester empat, aku sangat fokus pada organisasi dan berbagai kompetisi tanpa meninggalkan kuliah. Pada semester itu-lah aku mulai memasang target untuk segera merampungkan kuliah pada semester lima, dan “membebaskan diri”. Pada saat ini pula aku mulai bekerja sebagai penyiar radio sebagai salah satu cara bagiku untuk “menyicil” karirku kedepannya nanti, tentunya juga sebagai tambahan media penyaluran passion.

Semester lima, bisa dikatakan sebagai semester terberat selama masa perkuliahan. Dimulai dengan perjuangan untuk bisa menjalankan Praktek Kerja Lapangan seorang diri di Bank Indonesia, perjuangan mengurus kelas mata kuliah Agama Islam II untuk merger dengan jurusan lain (karena jurusanku tidak buka mata kuliah itu di semester ganjil), beban mata kuliah yang masih full 24 SKS dijalani bersamaan dengan pengerjaan tugas akhir, tanggung jawab kepengurusan organisasi, dan pekerjaan sebagai penyiar radio yang tentunya harus profesional. Jarang tidur, pola makan tidak karuan, dan beban pikiran yang tidak pernah berkurang sempat membuatku terbaring di rumah sakit beberapa hari menjelang UTS. Semester lima adalah saat dimana aku jarang mengikuti kuis, absen di banyak presentasi, dan minim sumber belajar untuk ujian. Sungguh, perjuangan yang luar biasa sampai akhirnya bisa menyelesaikan semester terakhir tersebut dengan IPK yang masih terselamatkan meskipun turun, dan tetap menyelesaikan tanggung jawab organisasi dengan bantuan teman-teman yang penuh pengertian, serta menambah daftar prestasi.
Kini perjuanganku selanjutnya baru saja meninggalkan garis start. Apa yang akan ku lakukan, masih menjadi rahasia Allah, hehe. Tentu proposal rencana masa depan sudah ku ajukan ke hadapan-Nya, apakah segera di-acc atau ada yang direvisi, aku pun masih penasaran menunggu hasilnya. Yang jelas, saat ini aku tidak lagi khawatir pada satu pertanyaan yang ku sampaikan di awal tulisan ini, tentang seberapa besar peluang kerja dari program studi atau kampusku. Pekerjaan itu soal kemampuan diri sendiri, tidak cukup dengan nama universitas, program studi, bahkan IPK yang kita miliki (statement ini disampaikan oleh seseorang yang sudah pernah bekerja juga lo, bukan hanya ucapan optimistik seorang fresh graduated).
Intinya, dimanapun kalian berada saat ini, wahai calon mahasiswa dan mahasiswa yang sedang berjuang, bersyukurlah karena Tuhan pasti memilihkan tempat terbaik bagi kalian. Jangan berhenti bergerak dan mengutuk tembok di depan kalian, teruslah berlari dan temukan jalan yang lain. Meski memutar dan jaraknya lebih jauh, bukan berarti kalian tidak bisa sampai di tujuan. Percayalah pada kemampuan kalian dan hargai keinginan Tuhan untuk meng-upgrade kemampuan kalian dengan memberikan medan yang terjal. Di dunia ini, tidak ada kesuksesan yang tidak memiliki cerita tentang rasa sakit dan air mata.

Surabaya, 21 Maret 2016

0 komentar:

Posting Komentar