Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Oleh : Muhamad Rohman Obet
Kota kolonial merupaka kota yang tumbuh bersamaan dengan munculnya kolonialisme Eropa di negara-negara dunia ketiga, terutama di Asia dan Afrika. Kota kolonial dikembangkan oleh para pendatang dari Eropa di tempat kolonialisasi mereka. Pada tahapan selanjutnya berkembang menjadi pusat pemerintahan kolonial. Kota-kolonial awalnya dikembangkan sebagai kota dagang dengan pendirian gudang-gudang dan kantor-kantor dagang.
Menurut McGee, terdapat tiga ciri dari kota kolonial yaitu pemukiman yang sudah stabil, terdapat garnisun dan pemukiman pedagang yang merupakan tempat kontak dagang, serta tempat penguasa-penguasa kolonial mengadakan perjanjian dengan penguasa-penguasa pribumi.[1] Ciri penting lain dari kota kolonial adalah lokasinya yang berdekatan dengan jalur transportasi air baik laut maupun sungai. Hal tersebut guna kemudahan dalam pengangkutan barang komoditi.
Keberadaan kota kolonial yag dekat dengan jalur transportasi air seperti laut juga terkait dengan kedatangan mereka yang menggunakan kapal. Dengan penggunaan kapal sebagai alat transportasi tentunya akan membawa mereka menuju kota-kota pelabuhan. Ditempat berlabuh tersebutlah kemudian mereka membangun kota sebagai basis pemukiman, perdagangan, serta pusat pemerintahan. Ciri penting lain dari kota kolonial adalah terdapatnya pemusatan-pemusatan berdasarkan etnis yang merupakan bagian dari kebijakan pemerintah kolonial.
Kota kolonial juga dibangun oleh kolonial dengan gaya bangunan Eropa. Bangunan-bangunannya antara lain adalah pos-pos perdagangan, benteng militer, dan kota benteng, Sehingga benteng menjadi ciri penanda lain dari kota kolonial. Benteng tersebut juga sekaligus berfungsi sebagai pertahanan. Ciri lain dari kota kolonial adalah adanya perencanaan kota yang cukup baik, sehingga secara fisik kota-kota kolonial memiliki struktur yang lebih rapi dan teratur. Seperti contoh ketika pembangunan Kota Batavia, Belanda mempersiapkan terlebih dahulu rencana yang disebut dengan Plan de Batavia.
Kota-kota yang berada di tepi pantai biasanya dibuat berdasarkan pola berkotak-kotak dengan jalan dan kanal sebagai batas antar blok. Rencana tersebut didasarkan sebagaimana kota-kota di Belanda. Kanal-kanal dimanfaatkan sebagai jalur transportasi. Hal tersebut dapat dilihat seperti di Kota Batavia, Surabaya, Palembang dan beberapa kota lain yang berada di muara sungai besar.
Pada 1855 dibentuk Direktorat Pekerjaan Umum yang mandiri dengan nama Burgerlijke Openbare Werken. Lembagai ini banyak melatih para arsitek sipil dan mengerjakan berbagai pekerjaan sipil di Perkotaan terutama bangunan perkantoran dan sarana kepentingan umum lainnya seperti pasar, rumah sakit, sekolah, sarana olahraga, makam, mercusuar dan lain-lain. Dengan kata lain, BOW bertugas mengerjakan rancangan pengembangan kota dan membangun berbagai fasilitas umum di kota.
Puncak dari perencanaan kota-kota di Indonesia pada masa kolonial terjadi beberapa saat setelah diberlakukannya undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) pada 1903. Berdasarkan undang-undang tersebut dibentuklah kota-kota otonom yang menyelenggarakan pemerintahannya secara mandiri, tidak tergantung pemerintah pusat di Batavia. Kota-kota otonom kemudian diberi status gemeente yang sekarang dikenal dengan Kotamadya. Pada periode berikutnya kemudian berkembang menjadi stadsgemeente. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut maka pemerintah kota diberi keleluasaan untuk mengembangkan kotanya. Mereka berlomba-lomba dalam memperindah kota dengan dibantu oleh para arsitek dan para perancang kota.
Kota kolonial menampung masyarakat yang beragam. Mereka kemudian dikotak-kotakkan berdasarkan perbedaan ras atau warna kulit.[2] Segresi ras atau perbedaan tempat tinggal yang didasarkan oleh warna kulit didesain oleh pemerintah kolonial. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari kepentingan yang menyertainya yaitu kepentingan untuk mengontrol serta dengan alasan untuk menghindari terjadinya konflik.
Penduduk kota dibuat berlapis-lapis berdasarkan latar belakang etnis. Lapisan pertama adalah orang-orang Eropa, lapisan kedua adalah dari bangsa Timur Asing seperti Cina, Arab, India, Jepang dll, dan lapisan ketiga adalah orang-orang pribumi. Pembagian tersebut merupakan hasil pemisaha yang dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda sebagaimana tercantum dalam Regerings Reglement tahun 1854.[3]  Dengan kebijakan tersebut maka di kota-kota terbentuklah kawasan khusus untuk orang-orang Eropa, kawasan Pecinan (Chinese Kamp) yang dihuni para pendatang dari Cina, kawasan Kampung Melayu (Malaise Kamp), dan kawasan perkampungan Arab (Arabische Kamp).
Kota kolonial sengaja dibangun oleh Pemerintah Kolonial dalam rangka membuat senyaman mungkin bagi mereka yang tentunya berorientasi pada kepentingan barat. Kota kolonial mengalami perubahan yang amat drastis ketika Indonesia merdeka. Di beberapa kota bahkan simbol-simbol kolonial hilang akibat penghancuran dengan alasan simbol tersebut mengingatkan penghuni kota atas masa-masa kelam ketika kolonialisasi.
Terdapat beberapa fungsi terkait dengan keberadaan kolonial diantaranya adalah sebagai pusat pemerintahan, percampuran budaya, pusat aktifitas perekonomian, pusat pendidikan dan masih banyak lagi.




[1] T.G. McGee, The Southeast Asian City: A Social Geography of the Primate Cities of Southeast Asia, (London: G.Bell and Sons, Ltd., 1967), hlm. 43
[2] Brenda S.A. Yeoh, Contesting Space: Power Relations and the Urban Built Environment in Colonial Singapore, (Singapore: Oxford University Press, 1996), hlm. 1
[3] Andjarwati Noordjanah, Komuniats Tionghoa di Surabaya, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 11

Oleh : Muhamad Rohman Obet

Hari jadi Kota Surabaya ditetapkan berdasar pada keberhasilan Raden Wijaya dalam mempecundangi Pasukan Mongol di daerah Ujung Galuh (Surabaya). Istilah Surabaya sendiri berasal dari kata Chura Baya yang terdapat pada prasasti Trowulan I yang berangka tahun 1358.
Namun dalam perkembangannya sebagian kalangan berpendapat bahwa simbol-simbol tersebut dianggap berlebihan. Perjuangan Raden Wijaya mempencundangi Pasukan Mongol dianggap sebagai buah dari kelicikan, karena pada awalnya Pasukan Mongol merupakan sekutu dari Raden Wijaya dalam melakukan pemberontakan kepada Jayakatwang yang merupakan seorang Bupati Gelanggelang (Sekarang Kediri) yang berhasil mengambil alih Singosari yang dipimpin oleh Kertanegara, Sehingga terdapat dua pendapat mengenai hal ini. Sebagian kalangan menganggap bahwa Keberhasilan Raden Wijaya merupakan bentuk kepahlawan, Sebagian lagi mengaggap bahwa Keberhasilan Raden Wijaya merupakan bentuk pengkhianatan.
Sah-sah saja apabila sebagian orang mengaggap hal tersebut sebagai bentuk kepahlawanan, Karena Kerajaan Mongol pada masa tersebut merupakan salah satu kerajaan terkuat pada abad ke-13 M. Tercatat hanya Raden Wijaya yang berhasil mempecundangi Pasukan Mongol. Pada masa kejayaannya wilayah dari Kerajaan Mongol melebihi wilayah kekuasaan semua penguasa yang pernah tercatat dalam sejarah, bahkan melebihi wilayah kekuasaan Alexander dan Khalifah-khalifah Islamiyah.
Sampai-sampai pada masa tersebut hanya mendengar nama Kerajaan Mongol, Kerajaan-kerajaan yang akan diserbu langsung gemetar. Beberapa Kerajaan langsung kalah pada hari pertama kedatangan Pasukan Mongol, bahkan ada Kerajaan yang langsung menyerah.
Pada masa kejayaannya wilayah Kerajaan Mongol meliputi Rusia, Asia Tengah, Cina, Manchuria, Irak, Parsi, Polandia, Tibet, dan Asia Tenggara. Pasukan Mongol mempunyai kemampuan berperang diatas rata-rata, Sehingga menjadi terkenal pada masanya.
Dalam sederetan penaklukan kerajaan-kerajaan yang dilakukan oleh Pasukan Mongol terdapat kerajaan yang dengan nekat berani menantang kerajaan Mongol. Kerajaan tersebut berada di Pulau Jawa yaitu Kerajaan Singosari yang pada saat itu dipimpin oleh Kertanegara yang merupakan mertua dari Raden Wijaya.
Ketika pada tahun 1289 Kerajaan Singosari didatangi oleh Meng Ki yang merupakan utusan langsung dari Kaisar Kubilai Khan yang menjadi Raja dari Kerajaan Mongol untuk tunduk kepada Kerajaan Mongol, Kertanegara justru memotong telinga utusan dari Kerajaan Mongol tersebut dan menyuruhnya untuk pulang.
Menyadari tindakannya akan dibalas dan cepat atau lambat akan berhadapan dengan Pasukan dari Kerajaan Mongol, Kertanegara memperluas kekuasaannya. Pada masa kejayaannya wilayah kekuasaan Kerajaan Singosari meliputi Sumatera, Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa Barat), Madura, Bali dan Gurun (Maluku).
Sayangnya karena terlalu sibuk mengirim pasukan untuk memperluas wilayah justru Kerajaan Singosari lengah dalam pertahan di dalam negeri sendiri, sehingga pada tahun 1292 yaitu 3 tahun paska insiden pemotongan telinga dari utusan Kerajaan Mongol, Jayakatwang seorang bupati dari Gelanggelang (Sekarang Kediri) melakukan pemberontakan dan membunuh Kertanegara.
Jayakatwang sendiri sebenaranya merupakan keluarga dari Kertanegara, Namun akibat dendam turun-menurun yang diwariskan oleh masa lalu, Jayakatwang memutuskan untuk memberontak dan mengkudeta Kertanegara dari singgasana Kerajaan Singosari.
Jayakatwang tidak tahu bahwa dia harus mewarisi permusuhan dari kudeta yang dilakukannya tersebut. Jayakatwang tidak menduga bahwa akan mewarisi permusuhan dengan Kerajaan Mongol, Selain itu Raden Wijaya yang merupakan menantu dari Kertanegara juga memendam dendam akibat kudeta yang dilakukan oleh Jayakatwang.
Pada tahun 1293 yaitu empat tahun setelah insiden pemotongan telinga, Pasukan Mongol datang ke Jawa dengan tujuan untuk membalas tindakan dari Kertanegara yang telah memotong telinga utusan Kerajaan Mongol sekaligus menghancurkan Kerajaan Singosari.
Ketidaktahuan Pasukan Mongol dengan kudeta yang telah dilakukan oleh Jayakatwang dimanfaatkan oleh Raden Wijaya. Raden Wijaya membantu Pasukan Mongol dalam penyerbuannya ke Singosari dan berhasil menumbangkan Jayakatwang.
Setelah kemenangan tersebut Pasukan Mongol berpesta pora dengan mabuk-mabukan. Raden Wijaya yang tidak ingin Jawa dikuasai oleh Kerajaan Mongol mencari keuntungan dari Pasukan Mongol yang sedang mabuk. Raden Wijaya menumpas dan berhasil mempencundangi Pasukan Mongol karena Pasukan Mongol tidak menduga akan terjadi serangan.

Penyerangan tersebut terjadi pada tahun 1293 di Ujung Galuh (Sekarang Surabaya) dan dijadikan dasar sebagai hari jadi Kota Surabaya. Dengan strateginya Raden Wijaya berhasil mengalahkan Pasukan Mongol yang dianggap sebagai kekuatan terkuat di dunia pada abad ke 13 tersebut. Lantas anggapan pengkhianatan atas tindakan Raden Wijaya ini tergantung pada perspektif masing-masing, Karena pada dasarnya Raden Wijaya tidak ingin tanah jawa dikuasai oleh Pasukan dari Kerajaan Mongol. 

Oleh: Muhamad Rohman Obet
Perayaan peringatan hari jadi Kabupaten Nganjuk telah usai, namun langkah ini harus terus melangkah untuk membawa Kabupaten Nganjuk yang lebih baik. Nganjuk masuk sebagai salah satu jajaran kota tua di Indonesia. Dari berbagai penemuan bukti-bukti sejarah, disekitar tahun 929 M tepatnya di Desa Candirejo Kecamatan Loceret telah terjadi pertempuran antara Mpu Sendok melawan Kerajaan dari Melayu atau Sriwijaya.
Sebelumnya pada setiap pertempuran mulai dari Jawa barat hingga Jawa tengah, Pasukan dari Melayu selalu mendapatkan kemenangan. Pertempuran kemudian berlanjut di daerah yang sekarang kemudian dikenal dengan Kabupaten Nganjuk. Untuk pertama kalinya, Tentara Melayu mengalami kekalahan setelah bertempur melawan pasukan dari Mpu Sendok. Mpu Sendok bersama dengan rakyat desa-desa sekitar berhasil menggempur pasukan dari Kerajaan Melayu atau Sriwijaya. Berkat keberhasilan dari pertempuran tersebut, Mpu Sendok kemudian dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Sri Maharaja Mpu Sendok Sri Isanawikrama Dharmatunggadewa.
Kurang lebih delapan tahun setelah kemenangan dalam pertempuran tersebut, Sri Maharaja Mpu Sendok mendirikan sebuah tugu kemenangan dan sebuah candi. Rakyat desa-desa sekitar yang ikut andil dalam pertempuran diberi hadiah oleh Mpu Sendok berupa desa perdikan atau desa bebas pajak dengan status sima swatantra : Anjuk Ladang. Anjuk berarti tinggi atau dalam arti simbolis adalah mendapatkan kemenangan yang gemilang. Sedangkan Ladang berarti tanah atau daratan. Sejalan dengan perkembangan zaman, daerah tersebut kemudian berkembang menjadi daerah yang lebih luas dan tidak hanya sekedar sebuah desa.
Kata Anjuk kemudian berubah menjadi Nganjuk adalah karena proses bahasa atau perubahan morfologi bahasa yang menjadi ciri khas dan struktural bahasa Jawa. Perubahan kata ini terjadi karena kebiasaan menambah konsonan sengau “NG” masyarakat Jawa pada kata yang diawali dengan suara vokal. Hal tersebutlah yang menjadikan Anjuk berubah menjadi Nganjuk.
Sejarah senantiasa dijadikan sebagai alat legitimasi, salah satunya adalah dalam penentuan hari jadi kota. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh L.C. Damais angka tahun yang tertera pada prasasti Candi Lor adalah tanggal 12 bulan Caitra tahun 859 Saka atau bertepatan dengan tanggal 10 April 937 M. Berdasarkan kajian inilah maka tanggal 10 April 937 dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Nganjuk yang diperingati setiap tahunnya.
Nganjuk muncul tercatat dalam sejarah setelah penelitan yang dilakukan terhadap peninggalan-peninggalan sejarah berupa Prasasti dan Candi. Prasasti tersebut memuat tulisan yang berisi mengenai keadaan daerah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Nganjuk tersebut. Tulisan dari prasasti tersebut menjadi bukti bahwa karya tulis merupakan suatu hal yang sangat penting. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer “Karena Kau Menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh dikemudian hari”.
Selain Prasasti Anjuk Ladang, terdapat juga peninggalan-peninggalan lain seperti prasasti yang ditemukan di Desa Tanjungkalang Kecamatan Ngronggot yang berangka tahun 849 Saka atau 927 M dan prasasti yang ditemukan di Desa Kujonmanis Kecamatan Tanjunganom yang berangka tahun 856 Saka atau 934 M. Dari prasasti tersebut, Prasasti Anjuk Ladanglah yang kemudian berhasil membawa Nganjuk tercatat dalam Sejarah Indonesia Kuno.
Setelah periode Sri Maharaja Mpu Sendok, keberadaan Nganjuk mengalami masa kesuraman karena tidak ditemukannya peninggalan-peninggalan sejarah. Baru kemudian pada masa Kerajaan Majapahit Nganjuk muncul kembali dalam catatan sejarah. Hal tersebut didasarkan pada peninggalan dari Kerajaan Majapahit berupa Candi tempat penyimpanan abu dari Raja Hayam Wuruk. Candi tersebut dikenal dengan Candi Ngetos sesuai dengan lokasi candi tersebut yaitu di Ngetos. Dalam Kita Negarakertagama karangan dari Mpu Prapanca pada pupuh 77 dan 78 dijelaskan bahwa jumlah desa perdikan atau desa swatantra pada masa Kerajaan Majapahit terdapat sebanyak 200 desa yang salah satu diantaranya adalah Sima Swatantra Anjuk Ladang.
Munculnya Pemerintahan
Berdasarkan akte komisaris daerah-daerah keraton yang telah diambil alih dan ditanda tangani pada tanggal 16 Juni 1831 di Semarang oleh Van Lawick ditunjuk beberapa penguasa pribumi untuk menjadi bupati, yaitu adalah Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo (Kanjeng Jimat) sebagai Bupati Kabupaten Berbek, Raden Toemenggoeng Brotodikoro sebagai Bupati Kabupaten Ngandjoek dan Raden Toemenggoeng Soemodipoero sebagai Bupati Kabupaten Kertosono.
Pada kurun waktu selanjutnya ketiga kabupaten tersebut kemudian dijadikan satu (merger) dengan Kabupaten Berbek. Hal tersebut dapat dilihat dari surat Residen Kediri tanggal 20 September 1852 yang menyebutkan bahwa Kabupaten Berbek meliputi 8 distrik. Kedelapan distrik tersebut adalah Berbek, Godean, Siwalan, Ngandjoek, Gemenggeng, Kertosono, Waroedjayeng dan Lengkong.
Kemudian pada masa Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosroekoesoemo III (1878-1901), Ibu Kota Kabupaten dari Berbek dipindahkan ke Ngandjoek pada Sabtu, 21 Agustus 1880. Perpindahan tersebut terkait dengan pembangunan jalur transportasi yaitu jalur kereta api Surabaya-Solo yang melintasi Ngandjoek. Ibu Kota kemudian dipindahkan dekat dengan jalur transportasi seperti yang dilakukan oleh beberapa kota yang dilintasi oleh De Groote Postweg (Jalan Pos) atau yang sekarang disebut dengan jalur Pantai Utara.  Peristiwa boyongan tersebut kemudian dijadikan sebagai pelengkap peringatan hari jadi Kabupaten Nganjuk dengan arak-arakan dari Kecamatan Berbek (sekarang) menuju Kecamatan Nganjuk.
Selamat Hari Jadi Kabupaten Nganjuk, Tempat Didikan Kecil Yang Indah. Menang-Menanglah Kabupaten Nganjuk, Seperti Arti Dari Anjuk Ladang Yang Berarti Tanah Kemenangan!



Oleh : Muhamad Rohman Obet

Jalur Sutera adalah perdagangan yang menghubungkan antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Eropa. Jalur ini berasal dari Cina Kuno. Jalur Sutera diperkirakan mulai ada sejak masa Dinasti Han yaitu sekitar tahun 206 SM. Jalur ini dikenal cukup ramai dengan berbagai hubungan perdagangan antar suku bangsa.
Dinamakan jalur sutera karena pada masa tersebut Cina mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam memproduksi Sutera yang merupakan kain Indah berasal dari kepompong Ulat Sutera, Sehingga Pedagang Cina Melakukan perjalanan ke Barat untuk memperdagangkan sutera begitu juga sebaliknya Pedagang Eropa melakukan perjalan ke Timur untuk mencari tempat asal dari Sutera. Sutera merupakan barang yang bernilai jual tinggi. Hanya dari kalangan atas yang mempunyai kemampuan secara finansial yang bisa memilikinya karena harganya yang mahal. Oleh karena itu Sutera menjadi tolak ukur untuk menilai status sosial dan ekonomi dalam Masyarakat.
Sutera dari Cina menjadi dambaan karena keindahannya, Sehingga hubungan antara Cina, India dan Eropa (Romawi). Cina, India dan Eropa (Romawi) saling mengunjungi untuk kepentingan perdagangan, politik, sekaligus agama.
Cina tercatat sebagai penghasil Sutera sejak ribuan tahun yang lalu. Dengan segala potensi dan sumber daya yang dimiliki, Cina mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam memproduksi Sutera, Sehingga keindahan Sutera dari Cina terkenal sampai Eropa (Romawi) dan menjadi barang yang paling dicari oleh Negara-negara diluar Cina.
Dalam sejarah Cina kuno, produksi sutera mendapatkan apresiasi penuh dari Kekaisaran.  Sebelumnya Sutera hanya dipakai oleh kalangan Orang-orang Kekaisaran saja, Namun karena produksinya yang terus mengalami peningkatan akhirnya berinisiatif untuk menjual Sutera ke berbagai Negara di luar Cina. Sejak itulah hubungan Cina dengan Eropa (Romawi) mulai terjalin.
Akan tetapi perjalanan Orang Cina menuju ke Barat sering kali mendapat hadangan dari suku-suku kecil di Asia Tengah. Mereka adalah Suku-suku yang selalu menjarah barang-barang orang yang melewati daerahnya. Suku tersebut disebut dengan Suku Nomad. Karena seringnya terjadi penjarahan, Maka Kekaisaran Han mengambil keputusan dengan mengirim seorang Jenderal bernama Zhang Qian dalam rangka menjalin hubungan baik dengan Suku Nomad untuk menyelamatkan pedagang-pedangan Cina sekaligus memperluas wilayah kekuasaan.
Asia Tengah merupakan jantung utama dalam jalur sutera penghubung Cina dengan Negara-negara penting lainnya. Banyak dijumpai peninggalan dari peradaban dan kebudayaan tinggi di Jalur Sutera yang berada di Asia Tengah. Aktifitas di Jalur sutera menyebabkan daerah tersebut menjadi daerah yang ramai dengan berbagai aktifitas pedagang-pedagang dari berbagai Negara. Oleh karena itu Jalur Sutera meninggalkan banyak cerita dan peristiwa penting yang menjadikan cikal bakal hubungan antara Dunia Barat dan Dunia Timur. Pertukaran-pertukaran ide secara langsung maupun tidak langsung terjadi disepanjang Jalur Sutera.
Jalur Sutera terbagi menjadi dua jalur utama yaitu jalur utara dan jalur selatan. Jalur utara melewati Bulgar-Kipchak menuju Eropa Timur-Semenanjung Crimea , kemudian menuju laut hitam, Laut Marmara, Laut Balkan dan Venesia. Sementara jalur selatan melewati Turkestan-Khurasan menuju Mesopotamia, Anatolia-Antiokiah menuju laut tengah ke Mesir dan Afrika Utara.
Para pedagang tidak hanya menggunakan jalur darat melainkan juga menggunakan jalur laut, Namun pada masa Dinasti Han pedagang-pedagang lebih memilih melewati Jalur darat karena kondisi gografis yang lebih nyaman dilewati dari pada jalur laut.
Menurut sumber sejarah Jalur Sutera dimula dari Changan (sekarang Xi’an) sebuah kota Cina Kuno sampai di pesisir timur Mediterania. Jalur Sutera meninggalkan berbagai macam peninggalan baik berupa percampuran budaya, karya-karya seni dan gagasan-gagasan mengenai kehidupan keagamaan.
Salah satu orang yang melalukan perjalanan di Jalur Sutera adalah Marcoplo. Marcopolo merupakan seorang pedagang dan penjelajah. Marcoplo melakukan perjalanan terinspirasi dari ayah dan pamannya Niccolo dan Maffeo pada saat Dinasti Mongol berkuasa dan menjadi orang yang dipercaya oleh Kubilai Khan yang menjadi Pengusa terkaya di Cina. Marcopolo juga pernah dipenjara setelah terjadi peperangan dengan Geno. Marcopolo juga berbagi cerita dengan teman satu selnya.
Marcopolo lahir pada 15 September 1254. Marcopolo menjelajah dari Venesia ke Sudak, Acre, Baghdad, Samarkhand, Khotan, Khambalik dan sampai di yangzhou (Cina). Marcopolo juga menjelajah dari Cina ke Persia yang merupakan tugas dari Kubilai Khan mengantarkan anaknya menikah dengan Raja Arghun.  Marcopolo menggambarkan tempat yang dikunjungi dalam bukunya.
Dari berbagai macam penjelajahan dan perjalanannya tersebut Marcopolo mendapatkan kekayaan berupa emas, batu dan barang berharga lainnya. Marcopolo juga mendapat penghargaan dan menjadi orang kepercayaan. Pada tahun 1291 Kubilai Khan memberi Marcopolo hadiah berupa barang yang berharga dan pada tahun 1303 Raja Persia memberi Marcopolo 4 medali emas.
Sesampai di Venesia, Maropolo mendapatkan kehormatan dari Orang-orang Venesia. Marcopolo memberikan pelayan-pelayannya baju dari hadiah-hadiah yang diperolehnya. Marcopolo meninggal pada 8 Januari 1324 di Venesia. Kemudian Marcopolo dikuburkan di San Lorenzo.
Karena perjalanan dan penjelajahannya Orang Eropa dapat mengetahui hal-hal yang ada diluar Venesia dan mengetahui budaya-budaya Orang Cina. Marcopolo juga menceritakan tentang Eropa kepada Raja Kubilai Khan. Penjelajah-penjelajah selanjutnya melakukan perjalanan dengan menggunakan jalur yang dilewati Marcopolo untuk pergi ke tempat-tempat yang pernah Marcopolo kunjungi.
Namun dalam perkembangannya Marcopolo yang dinobatkan sebagai salah satu penjelajah terbesar mendapat gugatan. Beberapa Orang berpendapat bahwa Marcopolo sebenarnya tidak pernah menjelajah ke Dunia Timur. Marcopolo diduga hanya mendengarkan dari pedagang Persia yang bertemu di Laut Hitam.
Arkeolog menujukkan sejumlah hal yang tidak konsisten dan akurat dalam tulisan Marcopolo, diantaranya adalah perihal invasi Kubilai Khan dari Mongol terhadap Jepang dan penggambaran kapal armada mongol. Meskipun begitu tulisan Marcoplo cukup membantu dalam penjelasan mengenai Jalur Sutera sebuah jalur perdagangan yang fenomenal.
Selain Marcopolo ada juga tokoh lain yang berjasa dalam penulisan mengenai Jalur Sutera. Tokoh tersebut adalah Sven Hedin seorang berkebangsaan Swedia. Sven Hedin lahir pada tanggal 19 Februari 1865 di Stockholm. Sven Hedin terinspirasi dari penjelajah Arctic, Adolf Erik Nordenskiold. Sejak saat itu Sven Hedin berkeinginan untuk menjadi seorang penjelajah. Setelah mendapatkan gelar doktor di Jerman, Sven Hedin melakukan perjalanan di Persia. Dalam ekspedisinya Sven Hedin secara berani melewati pegunungan dan padang pasir di Asia Tengah.
Sven Hedin merupakan orang pertama yang menggali reruntuhan Kota kuno Budha. Dokumentasi selama perjalanannya digambarkan sendiri dalam lukisan yang membuatnya menjadi orang yang terkenal. Sekembalinya ke Stockholm Sven Hedin mendapatkan kehormatan layaknya seorang Pahlawan yang baru pulang berperang.

Karena keterlibatan politik dalam perang dunia, Sven Hedin mendapatkan kecaman dari musuh-musuh Jerman yang dibelanya. Meskipun begitu Sven Hedin tetap dianggap sebagai orang yang berjasa besar dalam memberikan gambaran tentang Jalur Sutera selain Marcopolo.
Oleh : Muhamad Rohman Obet

Muhammad Al-Fatih lahir 30 Maret 1432 merupakan seorang Khalifah turki Ustmani yang berhasil menaklukan Kekaisaran Romawi Timur (Constatinopel) dalam usianya yang masih remaja. Inilah kota yang dijanjikan Rasululloh SAW akan ditaklukkan oleh Kaum Muslim. Ketika kecil beliau di didik oleh As-Syamsudin dan Muhammad bin Ismail AlQurani. Di tangan sang Guru beliau berhasil menghafalkan alquran. Di usia 14 tahun Al Fatih menjadi pemuda yang cerdas dan taat beragama. Ketika baligh Al Fatih tidak pernah meninggalkan Sholat wajib dan Sunnah. Hingga akhirnya sang Ayah menyerahkan kekhalifahan turki Utsmani ke Al Fatih.
Al Fatih membangun kesultanan serta tekun menyusun strategi untuk menaklukkan benteng konstatinopel.Al Fatih berhasil membangun 200.000 pasukan termasuk pasukan yang terlatih. Seluruh keahlian Pasukkannya ditunjang dengan rohani yang matang. Dia juga membangun persenjataan yang kuat salah satunya adalah meriam terbesar dengan berat 100 ton. Semua itu diperkuat dengan 400 kapal perang. Hal ini membuat gentar kekaisaran Bynzantium di konstatinopel.
Setelah permintaan Muhammad Al Fatih kepada kekaisaran Bynzantium untuk menyerah tanpa pertumpahan darah gagal. Maka saatnya pun tiba pada tanggal 6 april 1453 Muhammad Al fatih memulai serangan ke Kota Konstatinopel dari darat dan laut.Di bawah komando Muhammad Al Fatih yang di dampingi Gurunya Berbagai serangan dilakukan. Untuk menghindari rantai penghalang, kapal-kapal diangkat ke darat menuju ke tanduk mas benteng Konstatinopel ketika musuh sedang lengah Dalam waktu semalam 70 kapal sudah berpindah. Inilah strategi perang terbaik yang kemudian dipuji Dunia.
Strategi lainnya yang mengagumkan, Al Fatih menggali lubang bawah tanah dari tempat yang berdekatan dengan jantung Kota Konstatinopel. Kemudian Al Fatih mendirikan benteng yang terbuat dari kayu mengelilingi Konstatinopel. Benteng di basahi air agar dapat menahan api. Disetiap benteng ditempatkan beberapa Orang dan yang paling atas sudah disiapkan pasukan pemanah. Strategi ini berhasil melumpuhkan perlawanan Bynzantium
Selama peperangan beliau dan tentaranya juga melaksanakan puasa sunnah. Malam harinya mendekatkan diri Kepada Allah SWT. Teriakkan takbir dan semangat jihad menjadi penentu nasib konstatinopel. Hingga akhirnya Konstatinopel tak sanggup mengahadapi serangan pasukan Muslim. Konstatinopel jatuh ditangan kaum Muslimin.
Muhammad Al Fatih masuk ke Kota Konstatinopel dengan kemenangan pada hari selasa 29 Mei 1453. Beliau baru berusia 21 tahun menjadi sultan selama 2 tahun terakhir tetapi sudah dapat menaklukkan kota yang paling terkenal diseluruh dunia yaitu Konstatinopel yang sekarang berubah nama menjadi Istanbul.

Sumber : Khazanah Trans 7
Oleh : Inneke Yulistan
Berjuang ning Kota Perjuangan……. opo to kuwi ? Lak masalah juang berjuang ning Nganjuk yo enek Gedung Juang, tapi uduk kuwi.Berjuang iku koyok piye awake dewe ngintukne opo sing dikarep lan rela ngorbanake kanggo impian iku ben terkabul.Coro gampang e iso digawe conto iku perjuangan Indonesia merdeka soko kompeni.Lah opo maksude Kota Perjuangan ?Opo maneh ? Mestine Suroboyo. Mundak mucuk ae iki artine, Berjuang ning Kota Perjuangan berarti identik karo 10 November 1945 sing ndi arek-arek Suroboyo dikomandani karo Bung Tomo nglawan Sekutu modal pring tombak.Yo iku sejarah sing kudu dimangerteni marang wong enom kabeh.
Masio saiki Indonesia wis merdeka, ora terus kawulo mudone mandek berjuang.Adoh-adoh teko deso ngrantau ning kutho tugase mung golek ilmu, berjuang teko kegoblokan.Urip pas-pasan, adoh teko bapak ibu lak sinau yo kudu tenanan.Pancen angel urip dewe padahal biasane enek wong tuwo sing iso dijaluki tulung.Pancen angel urip sing biasane ning Nganjuk kota Angin saiki urip ning Suroboyo sing puanas cak ! Pancen angel urip ning Suroboyo sing bahasane medhok, kasar , lan ora sesuai karo kupinge wong Nganjuk sing isone krungu omongan alus. Pancen angel urip ning Suroboyo sing banyune buthek ora seger blas dibanding Nganjuk sing teko Gunung Wilis. Pancen angel urip ning Suroboyo  sing pingin rujakan pencit ae tuku. Yo kuwi Suroboyo, sing lak crito ning tonggo-tonggo omah apik lan dibanggakne. Iso ngrasakne Suroboyo apik kuwi yo awake dewe kudu sukses, ben lak lungo ning mall Galaxy isu tuku klambi ora mung ndeleng muter trus mulih.
Kanggo sedulur mahasiswa sing dadi pewaris peradaban, ngertio Indonesia iki uduk mung guyonan koyok stand up comedy ning kompas TV duk dolanan monopoli yo ora manut metune togel. Sinau perkoro kebangsaan uduk koyok ngaji drama Korea sing sok romantis, uduk akeh gaya koyok foto narsis. Ning ndi iki kawulo mudo pas rego beras sampek listrik sing nyekik, sing rego Lombok sampek daging koyok rego emas. Lan kowe konco ijik ora tenanan nimbo ilmu pas rakyatmu kalang kabut gundah ning ati. Pajek sing dibayar sampek kerjo abot mung kanggo subsidi sekolahmu ben putro putrine Indonesia dadi wong pinter lan akhlak e apik ora korupsi.
Gaween maneh jas almamatermu kebanggaanmu, ora peduli rupo nyatuo kanggo negoro. Jogoen amanah Gusti Pangeran perkoro status mulia mahasiswamu. Sedilut ae tinggalen gadgetmu, buyarno clan coc-mu, patenono medsosmu, shutdownen game duel otakmu. Elingo mahasiswa uduk mung mantra dukun dadi agent of change karo social control. Pintero, pekao, bijako, majuo, gagaho. Mbeloo rakyatmu, negoromu, tanah airmu. Indonesia nyeluk awakmu, rakyat butuh awakmu, nusantara kangen peranmu, Pertiwi ngundang  baktimu.


Surabaya, 19 November 2015
Created by Inneke Yulistan
Transmigrasi merupakan bentuk perpindahan penduduk yang khas di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan Negara Maritim dengan ribuan pulau. Untuk melakukan pemerataan penduduk antar pulau, maka di Indonesia Transmigrasi merupakan hal yang mutlak. Selama satu abad pelaksanaannya (1905-2005) yang dimulai sejak masa kolonial hingga sekarang, Transmigrasi di Indonesia masih belum bisa dikatakan berhasil. Dapat dilihat dari kepadatan antar pulau yang tidak merata dengan Pulau Jawa lebih dan bahkan sangat padat dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Selain tujuan demografis, dalam setiap masa pemerintahan memiliki tujuan yang berbeda dalam menjalankan transmigrasi.
Transmigrasi merupakan salah satu bentuk inisiatif pemerintah yang khas di Indonesia. Untuk pengertian yang lebih spesifik, transmigrasi adalah kebijakan Pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang berpenduduk pada ke pulau lain yang berpenduduk jarang. [1] namun demikian, pengertian Transmigrasi telah berkembang menjadi beberapa varian.
Transmigrasi juga dilakukan diluar Pulau Jawa yang berpenduduk padat seperti Pulau Bali dan Pulau Lombok. Periodisasi pelaksanaan transmigrasi di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu Masa Kolonial, Masa Orde Lama dan Masa Orde Baru. Pada Masa kolonial sendiri juga dibagi dalam beberapa periode yaitu tahap percobaan kolonisasi (1905-1911), Periode Lampongsche Volksbanks (1911-1929), zaman depresi ekonomi dunia (1930-1941) dan Periode Pendudukan Jepang.
A.    Masa Kolonial
a.       Tahap Percobaan Kolonisasi
Sejarah transmigrasi di Indonesia dimulai sejak adanya kolonisasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1905.[2] Kebijakan Transmigrasi pada masa ini dilatar belakangi oleh :
-          Salah satu program politik etis yaitu imigrasi untuk mengurangi jumlah penduduk Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah.
-          Pemilikan tanah yang makin sempit di Pulau Jawa akibat pertambaha penduduk yang cepat.
-          Adanya kebutuhan Pemerintah Kolonial Belanda dan Perusahaan Swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar Pulau Jawa.
Politik etis yang mulai dilakukan pada tahun 1900 bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat petani yang di ekspolitasi sejak dilaksanakannya Cultuur Stelsel (Sistem tanam paksa). Sebagai rasa tanggung jawab moral, Pemerintah Belanda kemudian menerapkan kebijakan politik etis sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi yang meliput program migrasi, irigasi dan edukasi.[3]
Menurut Mohr seorang ahli geografi dan tanah berkebangsaan Belanda, kepadatan penduduk di Pulau Jawa disebabkan oleh keadaan tanah yang subur serta iklim yang menguntungkan bagi pertanian.[4] Sementara menurut Fisher seorng ahli geografi berkebangsaan Inggris, adanya ketimpangan distribusi penduduk antara Pulau Jawa dan luar jawa disebabkan oleh kebijakan Pemerintah Belanda yang Jawasentris sehingga pembangunan lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa.[5]
Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1905, telah memindahkan 155 keluar dari Karesidenan Kedu Jawa Tengah menuju daerah Gedongtataan di Lampung. Lembaga yang mengurusi Transmigrasi adalah lembaga interdepartemen yaitu Centraal Commissie Voor Emmigratie en Kolonisatie van Inheemsen. Agar penduduk yang dipindahkan betah untuk tinggal di tempat baru, diupayakan mengondisikan daerah tujuan seperti Pulau Jawa.
Pada tahap awal, setiap kepala keluarga memperoleh 20 Gulden, dibebaskan dari biaya transportasi serta mendapatkan sumbangan biaya hidup sekitar 0.4 Gulden tiap harinya selama penyiapan tanah. Selain itu juga mendapatkan biaya bangunan rumah 65 Gulden, pembelian alat-alat 13.5 Gulden, ditambah 0.7 hektar sawah dan 0.3 hektar tegalan serta pekarangan.[6] Penduduk yang berhasil dipindahkan pada masa ini yang berkisar antara tahun 1905-1911 adalah sekitar 4800 orang.
b.      Periode Lampongsche Volksbanks
Data yang berasal dari dokumen antara lain menyebutkan antara tahun 1912-1922 jumlah penduduk yang diberangkatkan sebanyak 16.838 orang.[7] Kemudian pada tahun 1922 dibuka lagi pemukiman yang lebih besar dengan nama Wonosobo yang berada di dekat Kota Agung Lampung Selatan serta pemukiman dekat Sukadana di Lampung Tengah. Pemukiman yang lebih kecil dibuka di Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan dan Sulawesi.[8]
Data yang lain menunjukkan sampai akhir tahun 1921 jumlah Penduduk Asal Jawa di Gedongtataan telah mencapai jumlah 19.527.[9] ada juga yang menulis antar tahun 1905-1929 jumlah Orang Jawa yang dipindahkan ke luar Jawa sudah mencapai angka 24.300 Orang.
Pada periode ini data yang dikucurkan mengalami perbuahan dari periode yang sebelumnya. Biaya-biaya lain tidak diberikan lagi, namun diberikan fasilitas untuk memperoleh pinjamana uang sebesar 200 Gulden dengan bunga 9 persen per tahunnya. Guna mendukung hal tersebut, Pemerintah kolonial mendirikan Lampongsche Voklsbank pada bulan maret 1911. Pinjaman yang diberikan hanya boleh untuk dibelikan ternak, alat-alat pertaniah, serta bahan-bahan untuk membuat rumah. Namun kekuatan lembaga keungan tersebut tidak dapat berjalan lama sehingga pada tahun 1928 mengalami kebangkrutan.
Pada periode Lampongsche Volksbank pelakasanaannya belum dapat dikatakan berhasil. Penyebabnya adalah perencanaan yang kurang matang dan implementasi yang banyak menyimpang. Masalah tempat pemukiman, irigasi dan lainnya tidak direncanakan secara matang sehingga menyebabkan kerugian secara financial.
Walaupun pemerintah Belanda telah mengonsep suasana sosial budaya dan sistem pertanian yang hampir sama dengan daerah asal, namun daerah yang telah dipersiapkan tersebut tidak memenuhi kriteria. Sistem irigasi dan transportadi tidak memadai sehingga banyak yang tidak betah dan kembali ke Pulau Jawa.Dalam perekrutan, Pemerintah Belanda memberi instruksi lurah-lurah untuk mengirim sejumlah orang. Cara perekrutan demikian menyebabkan orang tidak siap untuk memulai kehidupan di daerah tujuan.
Pada masa ini adanya transmigrasi yang dilakukan Pemerintah Belanda sebenarnya mempunyai tujuan terselubung yaitu untuk mendukung adanya tenaga kerja murah bagi perkebunan tanaman-tanaman ekspor yang menguntungkan bagi perekonomian.
c.       Periode Depresi Ekonomi Dunia
Himpitan kesulitan hidup di Jawa pada periode ini telah mendorong sendiri penduduk untuk transmigrasi ke daerah Sumatera. Pada periode ini bagi penduduk yang tertarik untuk pindah akan dipinjami uang 22-25 Gulden per-keluarga yang harus dikembalikan dalam jangka waktu 2-3 tahun.
Sejak tahun 1930, ada perpindahan penduduk ke luar Jawa secara besar-besaran. Pemerintah Belandapun memperketa persyaratannya, diantaranya Peserta harus benar-benar Petani, Fisik harus kuat , Harus muda, Sudah berkeluarga, Tidak memiliki anak kecil dan banyak anak dll.
Pada periode ini bisa dikatakan lebih berhasil daripada periode sebelumnya. Akhirnya dikembangkan daerah pemukiman baru seperti yang ada di Palembang, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi dan Kalimantan. Pendapat ahli kependudukan Belanda pada saat itu mengatakan bahwa jika ingin mengendalikan Jawa, penduduk yang dipindahkan adalah sekitar 80.000 Orang tiap tahunnya.
Pemerintah Kolonial Belanda sampai masa akhir kekuasannya hanya mampu memindahkan Penduduk Pulau Jawa kurang dari seperlima target yang diharapkan pertahunnya. Data lain menunjukkan bahwa antara tahun 1905-1941 penduduk yang berhasil dipindahkan hanya mencapai 189.938 Orang.[10]
d.      Periode Pendudukan Jepang
Ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia menggantikan Pemerintah Kolonial Belanda, Transmigrasi tetap dilakukan. Akan tetapi akibat sibuk perang, Jepang belum sempat mengadakan pengadministrasin seperti pada masa kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan sedikitnya sumber mengenai transmigrasi yang dapat ditemukan. Pada masa ini  diperkirakan Penduduk Jawa yang dapat dipindahkan sekitar 2.000 Orang. [11]  Hal ini juga terkait dengan mobilisasi tenaga kerja (Romusha) untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan dan proyek-proyek pertahanan Jepang.
B.     Masa Orde Lama
Pada masa ini masalah kepadatan penduduk masih terabaikan akibat gejolak politik yang melanda pada saat itu. Baru pada tahun 1948, Pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari program Transmigrasi yang diketuai oleh A.H.D. Tambunan.
Bulan desember 1950 merupakan awal pemberangkatan Transmigrasi dengan tujuan Sumatera Selatan. Pelaksanaanya ditangani oleh Jawatan Transmigrasi di bawah Kementrian Sosial. Baru pada tahun 1960 Jawatan Transmigrasi digabung dengan urusan perkoperasian menjadi Departemen Transmigrasi dan Koperasi.[12]
Presiden Soekarno pada saat itu melihat adanya ketimpangan kepadatan penduduk Pulau Jawa dan luar Jawa.  Berdasarkan undang-undang tahun No. 20/1960 dijelaskan bahwa tujuan transmigrasi adalah untuk meningkatkan keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Target pemindahan penduduk pada masa orde lama dinilai sangat ambisius dan tidak realistis dimana sasaran “Rencana 35 Tambunan” adalah mengurangi penduduk di Pulau Jawa agar mencapai angka 31 juta jiwa pada tahun 1987 dari jumlah penduduk sebanyak 54 juta jiwa pada tahun 1951. Pada kenyataanya antara tahun 1950-1959 pemerintah hanya berhasil memindahkan Transmigras sebanyak 227.360 Orang.[13]
Selama lima tahun antara tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan penduduk jawa sebanyak dua juta orang, atau rata-rata 400 ribu per tahun. Pada rencana berikutnya yaitu antara tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi menurunkan lagi targetnya menjadi 1,56 orang atau rata-rata 195 ribu orang per tahun.

Minat penduduk Pulau Jawa untuk melakukan Transmigrasi pada masa ini cukup tinggi. Bahkan ada yang berangkat sendiri tanpa bantuan biaya dari pemerintah. Di tempat tujuan mereka hanya cukup melapor untuk memperoleh sebidang lahan dan bantuan material lainnya. Pada Masa Pemerintahan Orde lama ada pengkategorian Transmigrasi sehingga muncul istilah-istilah seperti transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi biaya sendiri dan transmigrasi spontan.
C.     Masa Orde Baru
Pada masa ini ada penekanan tujuan Transmigrasi yaitu untuk memproduksi beras dalam kaitan mencapai swasembada pangan. Pembukaan wilayah transmigrasi diperluas ke wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi bahkan hingga Papua.
Pada tahun 1965-1969 Pemerintah terkesan belum perhatian dengan program Transmigrasi. Pada masa ini hanya dikenal dua kategori transmigrasi yaitu transmigrasi umum dan transmigrasi sponta. Jumlah transmigran yang berhasil dipindahkan pada periode ini sekitar 182.144 orang.
Pada tahun 1974 ketika Gunung Merapi meletus, seluruh warga desa diikutkan serta dalam program transmigrasi. Dari inilah sehingga muncul istilah transmigrasi bedol desa. Pada periode Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) ke-2 antara tahun 1974-1979, konsep transmigrasi di integrasikan ke dalam Pembangunan Nasional.
Dalam kerangka Pembangunan Nasional tersebut transmigrasi diharapkan dapat meningkatkan ketahanan nasional baik bidang ekonomi, sosial maupun budaya serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi ekspor. Pemerintah juga mengembangkan daerah tujuan Transmigrasi semenarik mungkin sehingga akan banyak penduduk yang tertarik untuk pindah ke luar Pulau jawa dengan biaya mandiri.
Pada Repelita ke-3 antara tahun 1979-1983, Pemerintah menargetkan Transmigran sebanyak 250.000 keluarga bahkan terlampaui sebanyak dua kali lipat yaitu hinggan 500.000 keluarga. Maka pada repelita ke-4 target transmigran ditingkatkan menjadi 750.000 keluarga. Pada akhir bulan oktober 1985, Pemerintah telah berhasil memberangkatkan sebanyan 350.606 Keluarga. Pada periode ini Transmigran diberi pengarahan konsep tentang pelestarian lingkungan sehingga dapat memulihkan sumber daya alam yang sudah tereksploitasi dan memelihara lingkungan hidup.




[1] Petersen W. dan Renee Petersen. Dictionary of Demography: Terms, Concept and Institutions (New York: Greenwood Press, 1986), hlm. 895.
[2] Nugraha Setiawan. Transmigrasi di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. (Yogyakarta: Program Studi Kependudukan, Program Pasca Sarjana UGM, 1994). hlm. 5.
[3] Oey, Mayling. “The Transmigration Program in Indonesia” makalah seminar on Government Resettlement Programs in Southeast Asia. (Canberra: Australia National Univesity, 7 Oktober 1980), hlm. 2-3.
[4] Baca Pendapat Mohr (1938) dalam Mantra, I. B. Pengantar Studi Demografi (Yogyakarta: Nur Cahaya 1985), hlm. 159.
[5] Sri Ana Handayani. Transmigrasi Indonesia Dalam Perspektif Sejarah (Jember: Universitas Jember, 1994), hlm. 12
[6] John. A. Dixon. “Biaya-Biaya Pemukiman Atas Areal Tanah Alternatif-Alternatifnya”, Prisma. Tahun VIII No.4 (1980), hlm. 75
[7] J.M. Hardjono. Transmigration in Indonesia (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1977), hlm. 17.
[8] Pelzer, Karl J. Pioneer Setlement in The Asiatic Tropic (Newyork: American Geographical Society), hlm. 227.
[9] Amral Sjamsu. Dari Kolonisasi Ke Transmigrasi (Jakarta: Djambatan, 1960), hlm. 5.
[10] Nicoll, G. Mc. Internal Migration in Indonesia: Description Note (Indonesia), hlm. 62
[11] Rozy Munir. “Transmigrasi” dalam dasar-dasar demografi (Jakarta: Lembaga Demografi UI), hlm. 133.
[12] Heeren, H. J. Transmigrasi di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 32.
[13] Syamsu, Dari Kolonisasi ke Transmigrasi (Djakarta: Djambatan, 1986), hlm. 327
Masjid Mubarok dibangun pertama kali pada masa KRT. Sosrokoesoemo I atau yang dikenal dengan Kanjeng Jimat. Kanjeng Jimat merupakan Bupati pertama dari Kabupaten Berbek yang menjadi cikal bakal dari berdirinya Kabupaten Nganjuk. Bagi masyarakat Nganjuk, Kanjeng Jimat dianggap sebagai tokoh yang paling berjasa dalam berdirinya Kabupaten Berbek yang merupakan cikal bakal dari Kabupaten Nganjuk. Masjid Mubarok merupakan masjid tua yang unik dengan corak hinduistik yang dianggap sebagai pusat bagi penyebaran agama islam di Kabupaten Nganjuk.
Terdapat beberapa sengkalan huruf arab berbahasa jawa (Pegon) yang bertuliskan sebagai berikut :
-Bagian depan : Ratu Pandito Tata Terus (1759)
-Bagian bawah : Ratu Nitih Buto Murti (1758)
-Bagian samping : Ratu Pandito Tata Terus (1759)
-Bagian Belakang : Ratu Pandito Tata Terus (1759)
Kandjeng Raden Toemenggoeng Sosrodirdjo
Masjid Al-Mubarok merupakan salah satu bangunan religi yang bernilai historis di kabupaten Nganjuk. Masjid ini terletak di Kecamatan Berbek tepatnya di sebelah barat alun-alun Berbek yang dulu merupakan cikal bakal dari Kabupaten Nganjuk. Jarak dari pusat Kota Nganjuk ke Masjid ini kurang lebih sekitar sembilan kilo meter.
Berdasarkan pada Prasasti Sosrokoesoemo disebutkan bahwa masjid ini didirikan pada 1745 Masehi. Masjid Al-Mubarak merupakan masjid yang kental dengan unsur Jawa. Dapat dilihat dari ukiran-ukiran kayu jati yang menghiasi bagian-bagian dari Masjid Mubarok. Selain itu, masjid ini mempunyai lingga yoni, ungkal keramat, dan jam matahari yang digunakan untuk menentukan waktu sholat.
Pada saat pertama kali berdiri, masjid ini mempunyai atap berupa ijuk dan lantai berupa katel yaitu campuran antara kapur dan tanah liat. Konstruksi dari bangunan masjid Mubarok ini masih menggunakan kayu jati tanpa paku. Meskipun terjadi beberapa kali pembugaran, namun hal tersebut tidak mengganti bagian-bagian yang penting dari Masjid Mubarak. Bagian interior dari Masjid Mubarok masih tampak asli dari awal pertama kali dibangun.
Arsitektur bangunan yang menyerupai Pura tempat peribadatan dari agama hindu dan ornament yang dihiasi oleh gambar naga membuat daya tarik yang dikagumi bagi para pengunjung di Masjid ini. Di dalamnya juga terdapat penopang kayu usuk (reng) empat persegi panjang dan tatanan batu bata yang merupakan khas bangunan dari Jawa kuno. Sementara itu, bangunan masjid sendiri menggunakan masih menggunakan model Tajug Lawakan dimana tiang utamanya menopang langsung atap (brunjungan). Sedangkan bangunan serambi menggunakan atap limasan.
Keberadaan yoni di Masjid Mubarok juga mengindikasikan bahwa dahulu sebelum dibangunnya masjid, lokasi tersebut merupakan tempat peribadatan penganut hindu. Sehingga sebagian orang juga menyebut masjid ini dengan Masjid Yoni Al-Mubarok. Dulunya diatas yoni tersebut terdapat patung Dewi Durga yang merupakan dewi kesuburan bagi penganut agama hindu. Dengan masuknya islam, lambat laun tempat tersebut beralih fungsi menjadi Masjid sebagai tempat peribadatan umat islam dan yoni tersebut difungsikan sebagai penunjuk waktu sholat.