Oleh : Bella
Tresna Natasha, A.Md
Kemarin
adalah salah satu hari paling indah dalam hidupku. Wisuda; satu waktu yang
paling dinanti mereka yang mencicipi bangku kuliah. Banyak orang yang menilai
berlebihan pada capaianku hari itu. Menyelesaikan studi diploma dalam waktu 2,5
tahun, dengan IPK yang meski tidak luar biasa namun hampir ada di angka 3.5, dengan
cukup pengalaman organisasi dan list prestasi yang membuat poin Sistem Kredit
Prestasi ku nyaris berada di angka 500 (dengan ketentuan kampus minimal 80
poin). Percayalah, setiap capaian memiliki cerita perjuangannya sendiri. Semua
“penyelesaian” ini bermula dari kisah seorang remaja galau yang merasa salah
jurusan, merasa sudah gagal dari awal, dan tidak tahu bagaimana bisa bertahan
hingga akhir.
Aku
mengawali masa kuliah dengan kemuraman. Bagaimana tidak, aku ditolak
mentah-mentah oleh program studi yang sudah ku idamkan sejak 5-6 tahun
sebelumnya. Ditambah lagi saat itu aku berada di program studi yang tidak ku
senangi. Semester pertama, aku sering melewati malam dengan tangisan, masih
beum ikhlas dengan takdir. Iri pada mereka yang kuliah S1, sedangkan aku HANYA
kuliah D3 dengan jurusan yang entah seberapa besar peluangnya di dunia kerja.
Sebagai pelarian, aku mencoba menenggelamkan diri dalam berbagai macam kegiatan
dan organisasi kampus. Pada awal perkuliahan, aku sempat aktif di tiga Unit
Kegiatan Mahasiswa (semacam ekstrakurikuler di SMA), satu Unit Kegiatan
Fakultas, dan Himpunan Mahasiswa Program Studi. Berhasil kah? Lumayan. Boleh
lah sedikit stress saat kuliah, tapi bisa bersenang-senang dengan kegiatan
organisasi.
Pada
semester ketiga, aku kembali mengikuti SBMPTN dan diterima di salah satu
kampus. Sayangnya, dengan jurusan yang tidak berbeda jauh dengan jurusanku saat
itu. Tentu, di kampus yang baru ini aku diterima di program S1. Dengan kenekatan, kuliah-lah aku di dua
kampus pada semester itu. Pada waktu memutuskannya, aku berpikir, S1 tentu
lebih baik daripada D3. Namun untuk melepaskan pendidikan D3-ku yang sudah setengah
jalan juga sayang.
Kuliah
“double-degree”ku hanya berjalan satu semester. Mengapa? Banyak alasan. Yang
pertama, aku tidak menemukan kepuasan seperti yang ku kira akan ku dapat dengan
memilih kuliah S1. Tidak ada bedanya, bahkan aku merasa lebih cocok kuliah di
D3 mengingat lebih banyaknya praktek yang ku dapat daripada di S1 (aku tipe
orang yang tidak terlalu nyaman belajar dengan buku-buku tebal). Kedua, kuliah
di dua tempat tersebut semakin membuatku jenuh kuliah. Ibaratnya, sudah eneg
dengan sepiring makanan, tapi malah berusaha melahap dua piring. Ketiga,
kejenuhan pada kuliah semakin menumbuhkan keberanian untuk mengambil jalanku
sendiri dalam mengembangkan passionku. Aku mulai ingin menambah porsi
kegiatan-kegiatan yang “berguna” untuk perkembangan passionku.
Semester
berikutnya, ku lepaskan kuliah S1-ku demi kuliah D3-ku. Menyesalkah membuang
waktu satu semester di tempat lain? Tidak. Dari pengalaman itu, Allah menegurku
untuk berhenti mengeluh dan menyalahkan keadaan. Allah menyadarkan bahwa Allah
tidak pernah menjerumuskanku, Allah selalu memberikan yang terbaik bagiku.
Begitupun dengan kuliahku saat itu. Semester empat, aku sangat fokus pada
organisasi dan berbagai kompetisi tanpa meninggalkan kuliah. Pada semester
itu-lah aku mulai memasang target untuk segera merampungkan kuliah pada
semester lima, dan “membebaskan diri”. Pada saat ini pula aku mulai bekerja
sebagai penyiar radio sebagai salah satu cara bagiku untuk “menyicil” karirku
kedepannya nanti, tentunya juga sebagai tambahan media penyaluran passion.
Semester
lima, bisa dikatakan sebagai semester terberat selama masa perkuliahan. Dimulai
dengan perjuangan untuk bisa menjalankan Praktek Kerja Lapangan seorang diri di
Bank Indonesia, perjuangan mengurus kelas mata kuliah Agama Islam II untuk
merger dengan jurusan lain (karena jurusanku tidak buka mata kuliah itu di
semester ganjil), beban mata kuliah yang masih full 24 SKS dijalani bersamaan
dengan pengerjaan tugas akhir, tanggung jawab kepengurusan organisasi, dan
pekerjaan sebagai penyiar radio yang tentunya harus profesional. Jarang tidur,
pola makan tidak karuan, dan beban pikiran yang tidak pernah berkurang sempat
membuatku terbaring di rumah sakit beberapa hari menjelang UTS. Semester lima
adalah saat dimana aku jarang mengikuti kuis, absen di banyak presentasi, dan
minim sumber belajar untuk ujian. Sungguh, perjuangan yang luar biasa sampai
akhirnya bisa menyelesaikan semester terakhir tersebut dengan IPK yang masih
terselamatkan meskipun turun, dan tetap menyelesaikan tanggung jawab organisasi
dengan bantuan teman-teman yang penuh pengertian, serta menambah daftar
prestasi.
Kini
perjuanganku selanjutnya baru saja meninggalkan garis start. Apa yang akan ku lakukan, masih menjadi rahasia Allah, hehe.
Tentu proposal rencana masa depan sudah ku ajukan ke hadapan-Nya, apakah segera
di-acc atau ada yang direvisi, aku pun masih penasaran menunggu hasilnya. Yang
jelas, saat ini aku tidak lagi khawatir pada satu pertanyaan yang ku sampaikan
di awal tulisan ini, tentang seberapa besar peluang kerja dari program studi
atau kampusku. Pekerjaan itu soal kemampuan diri sendiri, tidak cukup dengan
nama universitas, program studi, bahkan IPK yang kita miliki (statement ini
disampaikan oleh seseorang yang sudah pernah bekerja juga lo, bukan hanya
ucapan optimistik seorang fresh graduated).
Intinya,
dimanapun kalian berada saat ini, wahai calon mahasiswa dan mahasiswa yang
sedang berjuang, bersyukurlah karena Tuhan pasti memilihkan tempat terbaik bagi
kalian. Jangan berhenti bergerak dan mengutuk tembok di depan kalian, teruslah
berlari dan temukan jalan yang lain. Meski memutar dan jaraknya lebih jauh,
bukan berarti kalian tidak bisa sampai di tujuan. Percayalah pada kemampuan
kalian dan hargai keinginan Tuhan untuk meng-upgrade kemampuan kalian dengan memberikan
medan yang terjal. Di dunia ini, tidak ada kesuksesan yang tidak memiliki
cerita tentang rasa sakit dan air mata.
Surabaya,
21 Maret 2016











