Perbandingan Model Transmigrasi Pada Masa Kolonial, Orde Lama dan Orde Baru

by 05.50 0 komentar
Transmigrasi merupakan bentuk perpindahan penduduk yang khas di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan Negara Maritim dengan ribuan pulau. Untuk melakukan pemerataan penduduk antar pulau, maka di Indonesia Transmigrasi merupakan hal yang mutlak. Selama satu abad pelaksanaannya (1905-2005) yang dimulai sejak masa kolonial hingga sekarang, Transmigrasi di Indonesia masih belum bisa dikatakan berhasil. Dapat dilihat dari kepadatan antar pulau yang tidak merata dengan Pulau Jawa lebih dan bahkan sangat padat dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Selain tujuan demografis, dalam setiap masa pemerintahan memiliki tujuan yang berbeda dalam menjalankan transmigrasi.
Transmigrasi merupakan salah satu bentuk inisiatif pemerintah yang khas di Indonesia. Untuk pengertian yang lebih spesifik, transmigrasi adalah kebijakan Pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang berpenduduk pada ke pulau lain yang berpenduduk jarang. [1] namun demikian, pengertian Transmigrasi telah berkembang menjadi beberapa varian.
Transmigrasi juga dilakukan diluar Pulau Jawa yang berpenduduk padat seperti Pulau Bali dan Pulau Lombok. Periodisasi pelaksanaan transmigrasi di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu Masa Kolonial, Masa Orde Lama dan Masa Orde Baru. Pada Masa kolonial sendiri juga dibagi dalam beberapa periode yaitu tahap percobaan kolonisasi (1905-1911), Periode Lampongsche Volksbanks (1911-1929), zaman depresi ekonomi dunia (1930-1941) dan Periode Pendudukan Jepang.
A.    Masa Kolonial
a.       Tahap Percobaan Kolonisasi
Sejarah transmigrasi di Indonesia dimulai sejak adanya kolonisasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1905.[2] Kebijakan Transmigrasi pada masa ini dilatar belakangi oleh :
-          Salah satu program politik etis yaitu imigrasi untuk mengurangi jumlah penduduk Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah.
-          Pemilikan tanah yang makin sempit di Pulau Jawa akibat pertambaha penduduk yang cepat.
-          Adanya kebutuhan Pemerintah Kolonial Belanda dan Perusahaan Swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar Pulau Jawa.
Politik etis yang mulai dilakukan pada tahun 1900 bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat petani yang di ekspolitasi sejak dilaksanakannya Cultuur Stelsel (Sistem tanam paksa). Sebagai rasa tanggung jawab moral, Pemerintah Belanda kemudian menerapkan kebijakan politik etis sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi yang meliput program migrasi, irigasi dan edukasi.[3]
Menurut Mohr seorang ahli geografi dan tanah berkebangsaan Belanda, kepadatan penduduk di Pulau Jawa disebabkan oleh keadaan tanah yang subur serta iklim yang menguntungkan bagi pertanian.[4] Sementara menurut Fisher seorng ahli geografi berkebangsaan Inggris, adanya ketimpangan distribusi penduduk antara Pulau Jawa dan luar jawa disebabkan oleh kebijakan Pemerintah Belanda yang Jawasentris sehingga pembangunan lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa.[5]
Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1905, telah memindahkan 155 keluar dari Karesidenan Kedu Jawa Tengah menuju daerah Gedongtataan di Lampung. Lembaga yang mengurusi Transmigrasi adalah lembaga interdepartemen yaitu Centraal Commissie Voor Emmigratie en Kolonisatie van Inheemsen. Agar penduduk yang dipindahkan betah untuk tinggal di tempat baru, diupayakan mengondisikan daerah tujuan seperti Pulau Jawa.
Pada tahap awal, setiap kepala keluarga memperoleh 20 Gulden, dibebaskan dari biaya transportasi serta mendapatkan sumbangan biaya hidup sekitar 0.4 Gulden tiap harinya selama penyiapan tanah. Selain itu juga mendapatkan biaya bangunan rumah 65 Gulden, pembelian alat-alat 13.5 Gulden, ditambah 0.7 hektar sawah dan 0.3 hektar tegalan serta pekarangan.[6] Penduduk yang berhasil dipindahkan pada masa ini yang berkisar antara tahun 1905-1911 adalah sekitar 4800 orang.
b.      Periode Lampongsche Volksbanks
Data yang berasal dari dokumen antara lain menyebutkan antara tahun 1912-1922 jumlah penduduk yang diberangkatkan sebanyak 16.838 orang.[7] Kemudian pada tahun 1922 dibuka lagi pemukiman yang lebih besar dengan nama Wonosobo yang berada di dekat Kota Agung Lampung Selatan serta pemukiman dekat Sukadana di Lampung Tengah. Pemukiman yang lebih kecil dibuka di Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan dan Sulawesi.[8]
Data yang lain menunjukkan sampai akhir tahun 1921 jumlah Penduduk Asal Jawa di Gedongtataan telah mencapai jumlah 19.527.[9] ada juga yang menulis antar tahun 1905-1929 jumlah Orang Jawa yang dipindahkan ke luar Jawa sudah mencapai angka 24.300 Orang.
Pada periode ini data yang dikucurkan mengalami perbuahan dari periode yang sebelumnya. Biaya-biaya lain tidak diberikan lagi, namun diberikan fasilitas untuk memperoleh pinjamana uang sebesar 200 Gulden dengan bunga 9 persen per tahunnya. Guna mendukung hal tersebut, Pemerintah kolonial mendirikan Lampongsche Voklsbank pada bulan maret 1911. Pinjaman yang diberikan hanya boleh untuk dibelikan ternak, alat-alat pertaniah, serta bahan-bahan untuk membuat rumah. Namun kekuatan lembaga keungan tersebut tidak dapat berjalan lama sehingga pada tahun 1928 mengalami kebangkrutan.
Pada periode Lampongsche Volksbank pelakasanaannya belum dapat dikatakan berhasil. Penyebabnya adalah perencanaan yang kurang matang dan implementasi yang banyak menyimpang. Masalah tempat pemukiman, irigasi dan lainnya tidak direncanakan secara matang sehingga menyebabkan kerugian secara financial.
Walaupun pemerintah Belanda telah mengonsep suasana sosial budaya dan sistem pertanian yang hampir sama dengan daerah asal, namun daerah yang telah dipersiapkan tersebut tidak memenuhi kriteria. Sistem irigasi dan transportadi tidak memadai sehingga banyak yang tidak betah dan kembali ke Pulau Jawa.Dalam perekrutan, Pemerintah Belanda memberi instruksi lurah-lurah untuk mengirim sejumlah orang. Cara perekrutan demikian menyebabkan orang tidak siap untuk memulai kehidupan di daerah tujuan.
Pada masa ini adanya transmigrasi yang dilakukan Pemerintah Belanda sebenarnya mempunyai tujuan terselubung yaitu untuk mendukung adanya tenaga kerja murah bagi perkebunan tanaman-tanaman ekspor yang menguntungkan bagi perekonomian.
c.       Periode Depresi Ekonomi Dunia
Himpitan kesulitan hidup di Jawa pada periode ini telah mendorong sendiri penduduk untuk transmigrasi ke daerah Sumatera. Pada periode ini bagi penduduk yang tertarik untuk pindah akan dipinjami uang 22-25 Gulden per-keluarga yang harus dikembalikan dalam jangka waktu 2-3 tahun.
Sejak tahun 1930, ada perpindahan penduduk ke luar Jawa secara besar-besaran. Pemerintah Belandapun memperketa persyaratannya, diantaranya Peserta harus benar-benar Petani, Fisik harus kuat , Harus muda, Sudah berkeluarga, Tidak memiliki anak kecil dan banyak anak dll.
Pada periode ini bisa dikatakan lebih berhasil daripada periode sebelumnya. Akhirnya dikembangkan daerah pemukiman baru seperti yang ada di Palembang, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi dan Kalimantan. Pendapat ahli kependudukan Belanda pada saat itu mengatakan bahwa jika ingin mengendalikan Jawa, penduduk yang dipindahkan adalah sekitar 80.000 Orang tiap tahunnya.
Pemerintah Kolonial Belanda sampai masa akhir kekuasannya hanya mampu memindahkan Penduduk Pulau Jawa kurang dari seperlima target yang diharapkan pertahunnya. Data lain menunjukkan bahwa antara tahun 1905-1941 penduduk yang berhasil dipindahkan hanya mencapai 189.938 Orang.[10]
d.      Periode Pendudukan Jepang
Ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia menggantikan Pemerintah Kolonial Belanda, Transmigrasi tetap dilakukan. Akan tetapi akibat sibuk perang, Jepang belum sempat mengadakan pengadministrasin seperti pada masa kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan sedikitnya sumber mengenai transmigrasi yang dapat ditemukan. Pada masa ini  diperkirakan Penduduk Jawa yang dapat dipindahkan sekitar 2.000 Orang. [11]  Hal ini juga terkait dengan mobilisasi tenaga kerja (Romusha) untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan dan proyek-proyek pertahanan Jepang.
B.     Masa Orde Lama
Pada masa ini masalah kepadatan penduduk masih terabaikan akibat gejolak politik yang melanda pada saat itu. Baru pada tahun 1948, Pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari program Transmigrasi yang diketuai oleh A.H.D. Tambunan.
Bulan desember 1950 merupakan awal pemberangkatan Transmigrasi dengan tujuan Sumatera Selatan. Pelaksanaanya ditangani oleh Jawatan Transmigrasi di bawah Kementrian Sosial. Baru pada tahun 1960 Jawatan Transmigrasi digabung dengan urusan perkoperasian menjadi Departemen Transmigrasi dan Koperasi.[12]
Presiden Soekarno pada saat itu melihat adanya ketimpangan kepadatan penduduk Pulau Jawa dan luar Jawa.  Berdasarkan undang-undang tahun No. 20/1960 dijelaskan bahwa tujuan transmigrasi adalah untuk meningkatkan keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Target pemindahan penduduk pada masa orde lama dinilai sangat ambisius dan tidak realistis dimana sasaran “Rencana 35 Tambunan” adalah mengurangi penduduk di Pulau Jawa agar mencapai angka 31 juta jiwa pada tahun 1987 dari jumlah penduduk sebanyak 54 juta jiwa pada tahun 1951. Pada kenyataanya antara tahun 1950-1959 pemerintah hanya berhasil memindahkan Transmigras sebanyak 227.360 Orang.[13]
Selama lima tahun antara tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan penduduk jawa sebanyak dua juta orang, atau rata-rata 400 ribu per tahun. Pada rencana berikutnya yaitu antara tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi menurunkan lagi targetnya menjadi 1,56 orang atau rata-rata 195 ribu orang per tahun.

Minat penduduk Pulau Jawa untuk melakukan Transmigrasi pada masa ini cukup tinggi. Bahkan ada yang berangkat sendiri tanpa bantuan biaya dari pemerintah. Di tempat tujuan mereka hanya cukup melapor untuk memperoleh sebidang lahan dan bantuan material lainnya. Pada Masa Pemerintahan Orde lama ada pengkategorian Transmigrasi sehingga muncul istilah-istilah seperti transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi biaya sendiri dan transmigrasi spontan.
C.     Masa Orde Baru
Pada masa ini ada penekanan tujuan Transmigrasi yaitu untuk memproduksi beras dalam kaitan mencapai swasembada pangan. Pembukaan wilayah transmigrasi diperluas ke wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi bahkan hingga Papua.
Pada tahun 1965-1969 Pemerintah terkesan belum perhatian dengan program Transmigrasi. Pada masa ini hanya dikenal dua kategori transmigrasi yaitu transmigrasi umum dan transmigrasi sponta. Jumlah transmigran yang berhasil dipindahkan pada periode ini sekitar 182.144 orang.
Pada tahun 1974 ketika Gunung Merapi meletus, seluruh warga desa diikutkan serta dalam program transmigrasi. Dari inilah sehingga muncul istilah transmigrasi bedol desa. Pada periode Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) ke-2 antara tahun 1974-1979, konsep transmigrasi di integrasikan ke dalam Pembangunan Nasional.
Dalam kerangka Pembangunan Nasional tersebut transmigrasi diharapkan dapat meningkatkan ketahanan nasional baik bidang ekonomi, sosial maupun budaya serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi ekspor. Pemerintah juga mengembangkan daerah tujuan Transmigrasi semenarik mungkin sehingga akan banyak penduduk yang tertarik untuk pindah ke luar Pulau jawa dengan biaya mandiri.
Pada Repelita ke-3 antara tahun 1979-1983, Pemerintah menargetkan Transmigran sebanyak 250.000 keluarga bahkan terlampaui sebanyak dua kali lipat yaitu hinggan 500.000 keluarga. Maka pada repelita ke-4 target transmigran ditingkatkan menjadi 750.000 keluarga. Pada akhir bulan oktober 1985, Pemerintah telah berhasil memberangkatkan sebanyan 350.606 Keluarga. Pada periode ini Transmigran diberi pengarahan konsep tentang pelestarian lingkungan sehingga dapat memulihkan sumber daya alam yang sudah tereksploitasi dan memelihara lingkungan hidup.




[1] Petersen W. dan Renee Petersen. Dictionary of Demography: Terms, Concept and Institutions (New York: Greenwood Press, 1986), hlm. 895.
[2] Nugraha Setiawan. Transmigrasi di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. (Yogyakarta: Program Studi Kependudukan, Program Pasca Sarjana UGM, 1994). hlm. 5.
[3] Oey, Mayling. “The Transmigration Program in Indonesia” makalah seminar on Government Resettlement Programs in Southeast Asia. (Canberra: Australia National Univesity, 7 Oktober 1980), hlm. 2-3.
[4] Baca Pendapat Mohr (1938) dalam Mantra, I. B. Pengantar Studi Demografi (Yogyakarta: Nur Cahaya 1985), hlm. 159.
[5] Sri Ana Handayani. Transmigrasi Indonesia Dalam Perspektif Sejarah (Jember: Universitas Jember, 1994), hlm. 12
[6] John. A. Dixon. “Biaya-Biaya Pemukiman Atas Areal Tanah Alternatif-Alternatifnya”, Prisma. Tahun VIII No.4 (1980), hlm. 75
[7] J.M. Hardjono. Transmigration in Indonesia (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1977), hlm. 17.
[8] Pelzer, Karl J. Pioneer Setlement in The Asiatic Tropic (Newyork: American Geographical Society), hlm. 227.
[9] Amral Sjamsu. Dari Kolonisasi Ke Transmigrasi (Jakarta: Djambatan, 1960), hlm. 5.
[10] Nicoll, G. Mc. Internal Migration in Indonesia: Description Note (Indonesia), hlm. 62
[11] Rozy Munir. “Transmigrasi” dalam dasar-dasar demografi (Jakarta: Lembaga Demografi UI), hlm. 133.
[12] Heeren, H. J. Transmigrasi di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 32.
[13] Syamsu, Dari Kolonisasi ke Transmigrasi (Djakarta: Djambatan, 1986), hlm. 327

0 komentar:

Posting Komentar