Oleh : Muhamad Rohman Obet
Kota kolonial merupaka kota
yang tumbuh bersamaan dengan munculnya kolonialisme Eropa di negara-negara
dunia ketiga, terutama di Asia dan Afrika. Kota kolonial dikembangkan oleh para
pendatang dari Eropa di tempat kolonialisasi mereka. Pada tahapan selanjutnya
berkembang menjadi pusat pemerintahan kolonial. Kota-kolonial awalnya
dikembangkan sebagai kota dagang dengan pendirian gudang-gudang dan
kantor-kantor dagang.
Menurut McGee, terdapat tiga
ciri dari kota kolonial yaitu pemukiman yang sudah stabil, terdapat garnisun
dan pemukiman pedagang yang merupakan tempat kontak dagang, serta tempat
penguasa-penguasa kolonial mengadakan perjanjian dengan penguasa-penguasa
pribumi.[1]
Ciri penting lain dari kota kolonial adalah lokasinya yang berdekatan dengan
jalur transportasi air baik laut maupun sungai. Hal tersebut guna kemudahan
dalam pengangkutan barang komoditi.
Keberadaan kota kolonial yag
dekat dengan jalur transportasi air seperti laut juga terkait dengan kedatangan
mereka yang menggunakan kapal. Dengan penggunaan kapal sebagai alat
transportasi tentunya akan membawa mereka menuju kota-kota pelabuhan. Ditempat
berlabuh tersebutlah kemudian mereka membangun kota sebagai basis pemukiman,
perdagangan, serta pusat pemerintahan. Ciri penting lain dari kota kolonial
adalah terdapatnya pemusatan-pemusatan berdasarkan etnis yang merupakan bagian dari
kebijakan pemerintah kolonial.
Kota kolonial juga dibangun
oleh kolonial dengan gaya bangunan Eropa. Bangunan-bangunannya antara lain
adalah pos-pos perdagangan, benteng militer, dan kota benteng, Sehingga benteng
menjadi ciri penanda lain dari kota kolonial. Benteng tersebut juga sekaligus
berfungsi sebagai pertahanan. Ciri lain dari kota kolonial adalah adanya
perencanaan kota yang cukup baik, sehingga secara fisik kota-kota kolonial
memiliki struktur yang lebih rapi dan teratur. Seperti contoh ketika
pembangunan Kota Batavia, Belanda mempersiapkan terlebih dahulu rencana yang
disebut dengan Plan de Batavia.
Kota-kota yang berada di
tepi pantai biasanya dibuat berdasarkan pola berkotak-kotak dengan jalan dan
kanal sebagai batas antar blok. Rencana tersebut didasarkan sebagaimana
kota-kota di Belanda. Kanal-kanal dimanfaatkan sebagai jalur transportasi. Hal
tersebut dapat dilihat seperti di Kota Batavia, Surabaya, Palembang dan
beberapa kota lain yang berada di muara sungai besar.
Pada 1855 dibentuk
Direktorat Pekerjaan Umum yang mandiri dengan nama Burgerlijke Openbare Werken. Lembagai ini banyak melatih para
arsitek sipil dan mengerjakan berbagai pekerjaan sipil di Perkotaan terutama
bangunan perkantoran dan sarana kepentingan umum lainnya seperti pasar, rumah
sakit, sekolah, sarana olahraga, makam, mercusuar dan lain-lain. Dengan kata
lain, BOW bertugas mengerjakan rancangan pengembangan kota dan membangun
berbagai fasilitas umum di kota.
Puncak dari perencanaan
kota-kota di Indonesia pada masa kolonial terjadi beberapa saat setelah
diberlakukannya undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) pada 1903. Berdasarkan undang-undang tersebut
dibentuklah kota-kota otonom yang menyelenggarakan pemerintahannya secara
mandiri, tidak tergantung pemerintah pusat di Batavia. Kota-kota otonom
kemudian diberi status gemeente yang
sekarang dikenal dengan Kotamadya. Pada periode berikutnya kemudian berkembang
menjadi stadsgemeente. Dengan
diberlakukannya undang-undang tersebut maka pemerintah kota diberi keleluasaan
untuk mengembangkan kotanya. Mereka berlomba-lomba dalam memperindah kota
dengan dibantu oleh para arsitek dan para perancang kota.
Kota kolonial menampung
masyarakat yang beragam. Mereka kemudian dikotak-kotakkan berdasarkan perbedaan
ras atau warna kulit.[2]
Segresi ras atau perbedaan tempat tinggal yang didasarkan oleh warna kulit
didesain oleh pemerintah kolonial. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari
kepentingan yang menyertainya yaitu kepentingan untuk mengontrol serta dengan
alasan untuk menghindari terjadinya konflik.
Penduduk kota dibuat
berlapis-lapis berdasarkan latar belakang etnis. Lapisan pertama adalah
orang-orang Eropa, lapisan kedua adalah dari bangsa Timur Asing seperti Cina,
Arab, India, Jepang dll, dan lapisan ketiga adalah orang-orang pribumi. Pembagian
tersebut merupakan hasil pemisaha yang dilakukan oleh pemerintah kolonial
belanda sebagaimana tercantum dalam Regerings Reglement tahun 1854.[3] Dengan kebijakan tersebut maka di kota-kota
terbentuklah kawasan khusus untuk orang-orang Eropa, kawasan Pecinan (Chinese Kamp) yang dihuni para pendatang
dari Cina, kawasan Kampung Melayu (Malaise
Kamp), dan kawasan perkampungan Arab (Arabische
Kamp).
Kota kolonial sengaja
dibangun oleh Pemerintah Kolonial dalam rangka membuat senyaman mungkin bagi
mereka yang tentunya berorientasi pada kepentingan barat. Kota kolonial
mengalami perubahan yang amat drastis ketika Indonesia merdeka. Di beberapa
kota bahkan simbol-simbol kolonial hilang akibat penghancuran dengan alasan
simbol tersebut mengingatkan penghuni kota atas masa-masa kelam ketika
kolonialisasi.
Terdapat beberapa fungsi
terkait dengan keberadaan kolonial diantaranya adalah sebagai pusat
pemerintahan, percampuran budaya, pusat aktifitas perekonomian, pusat
pendidikan dan masih banyak lagi.
[1]
T.G. McGee, The Southeast Asian City: A Social Geography
of the Primate Cities of Southeast Asia, (London: G.Bell and Sons, Ltd.,
1967), hlm. 43
[2]
Brenda S.A. Yeoh, Contesting Space: Power Relations and the
Urban Built Environment in Colonial Singapore, (Singapore: Oxford
University Press, 1996), hlm. 1
[3]
Andjarwati Noordjanah,
Komuniats Tionghoa di Surabaya, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 11














