Kota Kolonial di Indonesia

by 09.55 0 komentar
Oleh : Muhamad Rohman Obet
Kota kolonial merupaka kota yang tumbuh bersamaan dengan munculnya kolonialisme Eropa di negara-negara dunia ketiga, terutama di Asia dan Afrika. Kota kolonial dikembangkan oleh para pendatang dari Eropa di tempat kolonialisasi mereka. Pada tahapan selanjutnya berkembang menjadi pusat pemerintahan kolonial. Kota-kolonial awalnya dikembangkan sebagai kota dagang dengan pendirian gudang-gudang dan kantor-kantor dagang.
Menurut McGee, terdapat tiga ciri dari kota kolonial yaitu pemukiman yang sudah stabil, terdapat garnisun dan pemukiman pedagang yang merupakan tempat kontak dagang, serta tempat penguasa-penguasa kolonial mengadakan perjanjian dengan penguasa-penguasa pribumi.[1] Ciri penting lain dari kota kolonial adalah lokasinya yang berdekatan dengan jalur transportasi air baik laut maupun sungai. Hal tersebut guna kemudahan dalam pengangkutan barang komoditi.
Keberadaan kota kolonial yag dekat dengan jalur transportasi air seperti laut juga terkait dengan kedatangan mereka yang menggunakan kapal. Dengan penggunaan kapal sebagai alat transportasi tentunya akan membawa mereka menuju kota-kota pelabuhan. Ditempat berlabuh tersebutlah kemudian mereka membangun kota sebagai basis pemukiman, perdagangan, serta pusat pemerintahan. Ciri penting lain dari kota kolonial adalah terdapatnya pemusatan-pemusatan berdasarkan etnis yang merupakan bagian dari kebijakan pemerintah kolonial.
Kota kolonial juga dibangun oleh kolonial dengan gaya bangunan Eropa. Bangunan-bangunannya antara lain adalah pos-pos perdagangan, benteng militer, dan kota benteng, Sehingga benteng menjadi ciri penanda lain dari kota kolonial. Benteng tersebut juga sekaligus berfungsi sebagai pertahanan. Ciri lain dari kota kolonial adalah adanya perencanaan kota yang cukup baik, sehingga secara fisik kota-kota kolonial memiliki struktur yang lebih rapi dan teratur. Seperti contoh ketika pembangunan Kota Batavia, Belanda mempersiapkan terlebih dahulu rencana yang disebut dengan Plan de Batavia.
Kota-kota yang berada di tepi pantai biasanya dibuat berdasarkan pola berkotak-kotak dengan jalan dan kanal sebagai batas antar blok. Rencana tersebut didasarkan sebagaimana kota-kota di Belanda. Kanal-kanal dimanfaatkan sebagai jalur transportasi. Hal tersebut dapat dilihat seperti di Kota Batavia, Surabaya, Palembang dan beberapa kota lain yang berada di muara sungai besar.
Pada 1855 dibentuk Direktorat Pekerjaan Umum yang mandiri dengan nama Burgerlijke Openbare Werken. Lembagai ini banyak melatih para arsitek sipil dan mengerjakan berbagai pekerjaan sipil di Perkotaan terutama bangunan perkantoran dan sarana kepentingan umum lainnya seperti pasar, rumah sakit, sekolah, sarana olahraga, makam, mercusuar dan lain-lain. Dengan kata lain, BOW bertugas mengerjakan rancangan pengembangan kota dan membangun berbagai fasilitas umum di kota.
Puncak dari perencanaan kota-kota di Indonesia pada masa kolonial terjadi beberapa saat setelah diberlakukannya undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) pada 1903. Berdasarkan undang-undang tersebut dibentuklah kota-kota otonom yang menyelenggarakan pemerintahannya secara mandiri, tidak tergantung pemerintah pusat di Batavia. Kota-kota otonom kemudian diberi status gemeente yang sekarang dikenal dengan Kotamadya. Pada periode berikutnya kemudian berkembang menjadi stadsgemeente. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut maka pemerintah kota diberi keleluasaan untuk mengembangkan kotanya. Mereka berlomba-lomba dalam memperindah kota dengan dibantu oleh para arsitek dan para perancang kota.
Kota kolonial menampung masyarakat yang beragam. Mereka kemudian dikotak-kotakkan berdasarkan perbedaan ras atau warna kulit.[2] Segresi ras atau perbedaan tempat tinggal yang didasarkan oleh warna kulit didesain oleh pemerintah kolonial. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari kepentingan yang menyertainya yaitu kepentingan untuk mengontrol serta dengan alasan untuk menghindari terjadinya konflik.
Penduduk kota dibuat berlapis-lapis berdasarkan latar belakang etnis. Lapisan pertama adalah orang-orang Eropa, lapisan kedua adalah dari bangsa Timur Asing seperti Cina, Arab, India, Jepang dll, dan lapisan ketiga adalah orang-orang pribumi. Pembagian tersebut merupakan hasil pemisaha yang dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda sebagaimana tercantum dalam Regerings Reglement tahun 1854.[3]  Dengan kebijakan tersebut maka di kota-kota terbentuklah kawasan khusus untuk orang-orang Eropa, kawasan Pecinan (Chinese Kamp) yang dihuni para pendatang dari Cina, kawasan Kampung Melayu (Malaise Kamp), dan kawasan perkampungan Arab (Arabische Kamp).
Kota kolonial sengaja dibangun oleh Pemerintah Kolonial dalam rangka membuat senyaman mungkin bagi mereka yang tentunya berorientasi pada kepentingan barat. Kota kolonial mengalami perubahan yang amat drastis ketika Indonesia merdeka. Di beberapa kota bahkan simbol-simbol kolonial hilang akibat penghancuran dengan alasan simbol tersebut mengingatkan penghuni kota atas masa-masa kelam ketika kolonialisasi.
Terdapat beberapa fungsi terkait dengan keberadaan kolonial diantaranya adalah sebagai pusat pemerintahan, percampuran budaya, pusat aktifitas perekonomian, pusat pendidikan dan masih banyak lagi.




[1] T.G. McGee, The Southeast Asian City: A Social Geography of the Primate Cities of Southeast Asia, (London: G.Bell and Sons, Ltd., 1967), hlm. 43
[2] Brenda S.A. Yeoh, Contesting Space: Power Relations and the Urban Built Environment in Colonial Singapore, (Singapore: Oxford University Press, 1996), hlm. 1
[3] Andjarwati Noordjanah, Komuniats Tionghoa di Surabaya, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 11

0 komentar:

Posting Komentar