Pendidikan Bukan Belenggu

by 06.19 0 komentar



Ranah Pendidikan tak pernah sepi dari berbagai isu yang membelitnya. Berbagai kritik mulai dari penerapan kurikulum hingga kapitalisasi dalam pendidikan selalu dimunculkan pada saat perayaan Hari Pendidikan Nasional yang bertepatan pada tanggal 2 Mei. Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pasal 5 disebutkan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.” Namun dalam kenyataannya pendidikan di Indonesia lebih mengabdi pada kepentingan bisnis dan industri. Sehingga hak pendidikan sebagian besar diperoleh oleh kalangan atas. Hanya segelintir Orang dari kalangan bawah yang memperoleh hak pendidikan dari kebijakan Pemerintah lewat Program bernama Bidikmisi (Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi) dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Kedua program tersebut pun bahkan sering terjadi salah sasaran.

Seringnya pergantian kurikulum kenyatannya tidak menghasilkan perubahan yang berarti. Kurikulum dianggap sebagai perkara proyek ketimbang usaha perbaikan pendidikan ke arah yang lebih baik. Sekolah diibaratkan hanya untuk mereka yang unggul dan bagi mereka yang kurang mampu akan diasingkan. Secara perlahan kesalahan-kesalahan penerapan kebijakan tersebut menyebabkan keseragaman kemampuan peserta didik. Peserta didik yang mempunyai berbagai kemampuan dipaksakan untuk menyeragamkan kemampuannya. Pendidikan menjadikan manusia Indonesia tidak mempunyai Karakter yang bernaluri pada kemanusiaan tapi bergeliat pada kekuatan pasar. Membenahi sistem pendidikan di Indonesia haruslah memperhatikan budaya atau kearifan lokal yang nantinya akan lebih memperkaya karakter bangsa.

Menurut Freire pendidikan merupakan basis pembebasan dari kebodohan. Dengan begitu orang menjadi kritis dalam menyikapi persoalan kehidupan. Freire menambahkan bahwa dunia pendidikan menjadikan peserta didik “Budaya Bungkam”. Budaya bungkam dilakukan secara sistematis oleh para penguasa untuk membodohkan Rakyat sebagai sarana penindasan.

Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, tepatnya Bab III pasal 2 dan 3, menyatakan bahwa pendidikan nasional berdasar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Kenyataanya dalam prakteknya banyak sistem dalam pendidikan Nasional tidak sesuai dengan pasal tersebut. Pendidikan hanya menghasilkan orang-orang yang pandai menghafal, namun tidak dapat mengamalkannya. Selain itu yang menjadi ironis, radikalisme dan hilangnya toleransi justru lahir melalui salah kelola proses pendidikan dalam pembelajaran pada institusi pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Pendidikan tidak cukup hanya diajarkan dengan metode ceramah tanpa upaya pelaksanaan praktik di lapangan maupun kehidupan nyata dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Krisis dan keterpurukan bangsa pada hakikatnya bersumber dari jati diri dan kegagalan dalam mengembangkan pendidikan karakter. Dalam konteks pendidikan formal, salah satu penyebab dari kegagalan dalam mengembangan pendidikan karakter karena pendidikan di Indonesia yang terlalu menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan kurang memerhatikan aspek afektif, sehingga hanya mencetak generasi yang pintar tetapi tidak memiki karakter atau “Excellent Without Morality”. Sebab pendidikan yang benar tidak hanya mengasah intelektual semata, namun juga rohani kejiwaan peserta didik. Karakter bangsa merupakan unsur penting untuk dikembangkan dalam pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat (long life Education).

Dalam dunia pendidikan, sosok Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak pendidikan banyak mengajarkan berbagai hal dalam pendidikan. Karena pengabdiannya terhadap Bangsa dan Negara, pada tanggal 16 desember 1959 Pemerintah menetapkan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara sebagai Hari Pendidikan Nasional yang bertepatan pada tanggal 2 mei. Penetapan tersebut berdasarkan keputusan Presiden RI No. 316 tahun 1959.

Tiap-tiap guru, dalam pola pikir Ki Hadjar Dewantara adalah abdi sang anak, abdi murid, bukan penguasa atas jiwa anak-anak (Sudarto, 2008). Ki Hajar Dewantara menjadikan Tut Wuri Handayani sebagai semboyan metode among (Sistem pendidikan yang dipakai dalam Taman Siswa). Pengajaran Tamansiswa mendidik anak agar merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Hubungan antara Pamong (Guru) dan Siswa harus dilandasi dengan cinta kasih, saling percaya dan jauh dari sifat otoriter. Dalam konsep ini Siswa tidak hanya menjadi objek, tetapi dalam kurun waktu bersamaan sekaligus menjadi subjek.

Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa konsep pendidikan yang diusung oleh Barat hanya berorientasi pada akal semata, namun menegasikan akal budi. Sistem pendidikan Indonesia harus mencerminkan nilai-nilai kebangsaan sendiri. Pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah untuk meneguhkan sebuah kepribadian bangsa yang tak tergerus oleh budaya-budaya bangsa lain.

Sudarto (2008) mengutip pendapat Ki Soeratman yang menyatakan bahwa sikap Tut Wuri merupakan perilaku pamong (Guru) yang sifatnya memberi kebebasan kepada Siswa untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-norma yang wajar dan tidak merugikan siapapun. Dengan demikian Siswa sebagai subjek memiliki kebebasan dan sebagai objek Siswa memiliki ketertundukan atas kewajiban-kewajibannya. Paulo Freire menyatakan bahwa Manusia utuh adalah manusia sebagai subjek. Sebaliknya yang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai objek. Adaptasi merupakan pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena tidak mampu mengubah realitas.

Freire beranggapan bahwa hubungan antara pendidik dan peserta didik yang formal hanya akan melahirkan pendidikan bergaya bank. Tidak terjadi komunikasi atau dialog yang baik antara Pendidik dan Peserta didik. Pada akhirnya peserta didik terperangkap dalam budaya bungkam akibat minimnya daya cipta yang dihasilkan. Saat ini kondisi bungkam di Indonesia adalah hasil dari kuasa pasar lewat negara.

Akibat dari tidak biasanya bertindak otonom, pemecahan masalah dilakukan dengan cara pemecahan dari kebudayaan lain. Manusia diukur dari alienasinya daripada keberadaan pribadinya. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya eksistensi Manusia. Dalam arti membangun manusia yang lebih manusiawi dan lebih berbudaya sebagai manusia yang utuh. Peran kebudayaan dalam pendidikan yakni untuk mengkaji kearifan lokal yang nanti berujung pada etika maupun norma-norma dalam proses berlangsungnya kehidupan.

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai intenalisasi nilai-nilai yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan pada agama, budaya, adat istiadat, norma dan etika. Menurut Ki Hajar, Pendidikan adalah cara yang dipakai untuk meneruskan kebudayaan, sedangkan kebudayaan merupakan semangat yang menjiwai pendidikan. Baginnya pendidikan perlu dihindarkan dari menghasilkan orang yang hanya sekedar menuruti dhawuh (perintah).

Ki Hajar bergerak pada saat pendidikan Indonesia ditengah bayang-bayang kolonialisme yang berdampak pula kolonialisasi pendidikan. Kolonialisasi tersebut menjadikan manusia Indonesia memiliki keahlian namun tidak merdeka. Pendidikan pada saat itu lebih diprioritaskan untuk kerja dibawah kolonial. Pendidikan hanya terbatas untuk anak dari Para Priyayi. Sedangkan Masyarakat bumiputra tidak mempunyai kesempatan untuk menerima pendidikan.

Ki Hajar Dewantara memberi kias terhadap sistem among dengan gambaran bahwa Pamong (Guru) harus bersikap seperti Juru Tani yang memeliharanya tanamannya. Tanaman diperlakukan dengan penuh perasaan bukan dengan kemauan dan keinginan Juru Tani sendiri. Juru Tani berkepentingan dalam menjaga kesuburan tanaman. Juru tani tidak bisa merubah tanaman menjadi jenis tanaman lain yang berbeda dari dasar sifatnya. Juru Tani hanya bisa memperbaiki dan memperindah dengan usaha-usahanya.  Juru Tani tidak bisa memaksa agar tanaman cepat masak dan cepat panen. Semua itu harus dijalankan dengan kesabaran. Juru Tani harus mengerti sifat dan watak dari Tanaman, serta paham akan cara mengasuh dan bercocok tanam yang baik agar dapat menghasilkan tanaman yang subur. Dengan begitu Juru Tani dapat memanen tanaman dengan hasil yang baik.

Menurut Ki Hajar Dewantara, Juru Tani harus memanfaatkan segala yang menyuburkan tanaman menurut kodrat alam. Pamong (Guru) harus mempunyai karakter seperti Juru Tani. Tidak membeda-bedakan anak didik, tetapi membuat agar anak didiknya tumbuh menjadi anak yang pintar, berjiwa merdeka dan mandiri. Dengan begitu diharapkan anak didik dapat berinisiatif secara kreatif untuk menunjukkan eksistensinya sebagai Manusia.

Selain Among terdapat sistem lain yang diberi nama Paguron. Sistem Paguron merupakan sistem dimana Anak Didik menjadikan rumah Pamong (Guru) sebagai tempat yang dikunjungi peserta didik. Anak didik dititipkan untuk mendapatkan pendidikan lanjutan yang terarah, terprogram dan terkonsep untuk memperoleh jenjang kedewasaan yang lebih baik. Implementasi dari Sistem Paguron adalah dengan adanya Pesantren atau Asrama.

Sistem Paguron memiliki perbedaan dengan sistem sekolah. Pada sistem Paguron Pamong dan anak didik berada pada tempat yang sama dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat Paguron adalah terjadinya transformasi kehidupan yang integral, menyentuh dan sangat efektif antara Pamong dan anak didik. Dengan demikian anak didik akan mewarisi kepribadian yang baik dari Sang Pamong.

Menurut Lickona (1991), Sekolah dan Guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang mengajarkan rasa hormat dan tanggung jawab. Pembelajaran karakter tersebut harus mengakar sehingga Anak didik menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakter, perlu kiranya menerapkan sistem pendidikan yang diajarakan oleh Ki Hajar Dewantara.

Sumber :
-Kristi Wardani, GURU DAN PENDIDIKAN KARAKTER (Konsep Ki Hadjar Dewantara dan Relevansinya Saat ini), PGSD FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
-Linda Novi Trianita, Hendri Leo, Isaura Tiomahita Putri Cahyani Sinaga, Strategi Kebudayaan Dalam Pendidikan Karakter (Studi Pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire),
-Pendidikan Karakter Prespektif Ki Hadjar Dewantara
-R.N. Bayu Aji, Belajar dari Kegagalan Pendidikan Pancasila

0 komentar:

Posting Komentar