Ranah Pendidikan tak pernah sepi dari berbagai isu
yang membelitnya. Berbagai kritik mulai dari penerapan kurikulum hingga
kapitalisasi dalam pendidikan selalu dimunculkan pada saat perayaan Hari
Pendidikan Nasional yang bertepatan pada tanggal 2 Mei. Dalam undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pasal 5 disebutkan bahwa
“Setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.” Namun dalam kenyataannya pendidikan di
Indonesia lebih mengabdi pada kepentingan bisnis dan industri. Sehingga hak
pendidikan sebagian besar diperoleh oleh kalangan atas. Hanya segelintir Orang
dari kalangan bawah yang memperoleh hak pendidikan dari kebijakan Pemerintah
lewat Program bernama Bidikmisi (Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi)
dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Kedua program tersebut pun bahkan sering
terjadi salah sasaran.
Seringnya
pergantian kurikulum kenyatannya tidak menghasilkan perubahan yang berarti.
Kurikulum dianggap sebagai perkara proyek ketimbang usaha perbaikan pendidikan
ke arah yang lebih baik. Sekolah diibaratkan hanya untuk mereka yang unggul dan
bagi mereka yang kurang mampu akan diasingkan. Secara perlahan
kesalahan-kesalahan penerapan kebijakan tersebut menyebabkan keseragaman
kemampuan peserta didik. Peserta didik yang mempunyai berbagai kemampuan
dipaksakan untuk menyeragamkan kemampuannya. Pendidikan menjadikan manusia
Indonesia tidak mempunyai Karakter yang bernaluri pada kemanusiaan tapi
bergeliat pada kekuatan pasar. Membenahi sistem pendidikan di Indonesia
haruslah memperhatikan budaya atau kearifan lokal yang nantinya akan lebih
memperkaya karakter bangsa.
Menurut
Freire pendidikan merupakan basis pembebasan dari kebodohan. Dengan begitu
orang menjadi kritis dalam menyikapi persoalan kehidupan. Freire menambahkan
bahwa dunia pendidikan menjadikan peserta didik “Budaya Bungkam”. Budaya
bungkam dilakukan secara sistematis oleh para penguasa untuk membodohkan Rakyat
sebagai sarana penindasan.
Fungsi
pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. UU
No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, tepatnya Bab III pasal 2
dan 3, menyatakan bahwa pendidikan nasional berdasar Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Kenyataanya dalam prakteknya banyak sistem dalam
pendidikan Nasional tidak sesuai dengan pasal tersebut. Pendidikan hanya
menghasilkan orang-orang yang pandai menghafal, namun tidak dapat
mengamalkannya. Selain itu yang menjadi ironis, radikalisme dan hilangnya
toleransi justru lahir melalui salah kelola proses pendidikan dalam
pembelajaran pada institusi pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah
menengah atas. Pendidikan tidak cukup hanya diajarkan dengan metode ceramah
tanpa upaya pelaksanaan praktik di lapangan maupun kehidupan nyata dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Krisis
dan keterpurukan bangsa pada hakikatnya bersumber dari jati diri dan kegagalan
dalam mengembangkan pendidikan karakter. Dalam konteks pendidikan formal, salah
satu penyebab dari kegagalan dalam mengembangan pendidikan karakter karena
pendidikan di Indonesia yang terlalu menitikberatkan pada pengembangan
intelektual atau kognitif dan kurang memerhatikan aspek afektif, sehingga hanya
mencetak generasi yang pintar tetapi tidak memiki karakter atau “Excellent Without Morality”. Sebab
pendidikan yang benar tidak hanya mengasah intelektual semata, namun juga
rohani kejiwaan peserta didik. Karakter bangsa merupakan unsur penting untuk
dikembangkan dalam pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat (long life Education).
Dalam
dunia pendidikan, sosok Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak pendidikan banyak
mengajarkan berbagai hal dalam pendidikan. Karena pengabdiannya terhadap Bangsa
dan Negara, pada tanggal 16 desember 1959 Pemerintah menetapkan tanggal lahir
Ki Hajar Dewantara sebagai Hari Pendidikan Nasional yang bertepatan pada
tanggal 2 mei. Penetapan tersebut berdasarkan keputusan Presiden RI No. 316
tahun 1959.
Tiap-tiap
guru, dalam pola pikir Ki Hadjar Dewantara adalah abdi sang anak, abdi murid,
bukan penguasa atas jiwa anak-anak (Sudarto, 2008). Ki Hajar Dewantara
menjadikan Tut Wuri Handayani sebagai
semboyan metode among (Sistem
pendidikan yang dipakai dalam Taman Siswa). Pengajaran Tamansiswa mendidik anak
agar merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Hubungan
antara Pamong (Guru) dan Siswa harus dilandasi dengan cinta kasih, saling
percaya dan jauh dari sifat otoriter. Dalam konsep ini Siswa tidak hanya
menjadi objek, tetapi dalam kurun waktu bersamaan sekaligus menjadi subjek.
Ki
Hajar Dewantara berpendapat bahwa konsep pendidikan yang diusung oleh Barat
hanya berorientasi pada akal semata, namun menegasikan akal budi. Sistem
pendidikan Indonesia harus mencerminkan nilai-nilai kebangsaan sendiri.
Pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah untuk meneguhkan sebuah
kepribadian bangsa yang tak tergerus oleh budaya-budaya bangsa lain.
Sudarto
(2008) mengutip pendapat Ki Soeratman yang menyatakan bahwa sikap Tut Wuri merupakan perilaku pamong
(Guru) yang sifatnya memberi kebebasan kepada Siswa untuk berbuat sesuatu
sesuai dengan hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai dengan
norma-norma yang wajar dan tidak merugikan siapapun. Dengan demikian Siswa
sebagai subjek memiliki kebebasan dan sebagai objek Siswa memiliki
ketertundukan atas kewajiban-kewajibannya. Paulo Freire menyatakan bahwa
Manusia utuh adalah manusia sebagai subjek. Sebaliknya yang hanya beradaptasi
adalah manusia sebagai objek. Adaptasi merupakan pertahanan diri yang paling
rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena tidak mampu mengubah realitas.
Freire
beranggapan bahwa hubungan antara pendidik dan peserta didik yang formal hanya
akan melahirkan pendidikan bergaya bank. Tidak terjadi komunikasi atau dialog
yang baik antara Pendidik dan Peserta didik. Pada akhirnya peserta didik
terperangkap dalam budaya bungkam akibat minimnya daya cipta yang dihasilkan. Saat
ini kondisi bungkam di Indonesia adalah hasil dari kuasa pasar lewat negara.
Akibat
dari tidak biasanya bertindak otonom, pemecahan masalah dilakukan dengan cara
pemecahan dari kebudayaan lain. Manusia diukur dari alienasinya daripada
keberadaan pribadinya. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya eksistensi
Manusia. Dalam arti membangun manusia yang lebih manusiawi dan lebih berbudaya
sebagai manusia yang utuh. Peran kebudayaan dalam pendidikan yakni untuk
mengkaji kearifan lokal yang nanti berujung pada etika maupun norma-norma dalam
proses berlangsungnya kehidupan.
Pendidikan
karakter dapat dimaknai sebagai intenalisasi nilai-nilai yang diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari yang berlandaskan pada agama, budaya, adat istiadat,
norma dan etika. Menurut Ki Hajar, Pendidikan adalah cara yang dipakai untuk
meneruskan kebudayaan, sedangkan kebudayaan merupakan semangat yang menjiwai
pendidikan. Baginnya pendidikan perlu dihindarkan dari menghasilkan orang yang
hanya sekedar menuruti dhawuh
(perintah).
Ki
Hajar bergerak pada saat pendidikan Indonesia ditengah bayang-bayang
kolonialisme yang berdampak pula kolonialisasi pendidikan. Kolonialisasi
tersebut menjadikan manusia Indonesia memiliki keahlian namun tidak merdeka.
Pendidikan pada saat itu lebih diprioritaskan untuk kerja dibawah kolonial.
Pendidikan hanya terbatas untuk anak dari Para Priyayi. Sedangkan Masyarakat
bumiputra tidak mempunyai kesempatan untuk menerima pendidikan.
Ki
Hajar Dewantara memberi kias terhadap sistem among dengan gambaran bahwa Pamong (Guru) harus bersikap seperti
Juru Tani yang memeliharanya tanamannya. Tanaman diperlakukan dengan penuh
perasaan bukan dengan kemauan dan keinginan Juru Tani sendiri. Juru Tani
berkepentingan dalam menjaga kesuburan tanaman. Juru tani tidak bisa merubah
tanaman menjadi jenis tanaman lain yang berbeda dari dasar sifatnya. Juru Tani
hanya bisa memperbaiki dan memperindah dengan usaha-usahanya. Juru Tani tidak bisa memaksa agar tanaman
cepat masak dan cepat panen. Semua itu harus dijalankan dengan kesabaran. Juru
Tani harus mengerti sifat dan watak dari Tanaman, serta paham akan cara
mengasuh dan bercocok tanam yang baik agar dapat menghasilkan tanaman yang
subur. Dengan begitu Juru Tani dapat memanen tanaman dengan hasil yang baik.
Menurut
Ki Hajar Dewantara, Juru Tani harus memanfaatkan segala yang menyuburkan
tanaman menurut kodrat alam. Pamong (Guru) harus mempunyai karakter seperti
Juru Tani. Tidak membeda-bedakan anak didik, tetapi membuat agar anak didiknya
tumbuh menjadi anak yang pintar, berjiwa merdeka dan mandiri. Dengan begitu
diharapkan anak didik dapat berinisiatif secara kreatif untuk menunjukkan
eksistensinya sebagai Manusia.
Selain
Among terdapat sistem lain yang
diberi nama Paguron. Sistem Paguron
merupakan sistem dimana Anak Didik menjadikan rumah Pamong (Guru) sebagai
tempat yang dikunjungi peserta didik. Anak didik dititipkan untuk mendapatkan
pendidikan lanjutan yang terarah, terprogram dan terkonsep untuk memperoleh
jenjang kedewasaan yang lebih baik. Implementasi dari Sistem Paguron adalah dengan adanya Pesantren
atau Asrama.
Sistem
Paguron memiliki perbedaan dengan
sistem sekolah. Pada sistem Paguron
Pamong dan anak didik berada pada tempat yang sama dalam kehidupan sehari-hari.
Manfaat Paguron adalah terjadinya
transformasi kehidupan yang integral, menyentuh dan sangat efektif antara
Pamong dan anak didik. Dengan demikian anak didik akan mewarisi kepribadian
yang baik dari Sang Pamong.
Menurut
Lickona (1991), Sekolah dan Guru harus mendidik karakter, khususnya melalui
pengajaran yang mengajarkan rasa hormat dan tanggung jawab. Pembelajaran
karakter tersebut harus mengakar sehingga Anak didik menerapkannya pada
kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakter,
perlu kiranya menerapkan sistem pendidikan yang diajarakan oleh Ki Hajar
Dewantara.
Penulis : Muhamad
Rohman Obet
Sumber :
-Kristi
Wardani, GURU DAN PENDIDIKAN KARAKTER
(Konsep Ki Hadjar Dewantara dan Relevansinya Saat ini), PGSD FKIP
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
-Linda Novi Trianita, Hendri Leo, Isaura Tiomahita Putri Cahyani Sinaga, Strategi Kebudayaan Dalam Pendidikan
Karakter (Studi Pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire),
-Pendidikan Karakter Prespektif Ki Hadjar Dewantara
-R.N. Bayu Aji, Belajar dari Kegagalan Pendidikan Pancasila

0 komentar:
Posting Komentar