Oleh: Muhamad Rohman Obet
Perayaan peringatan hari
jadi Kabupaten Nganjuk telah usai, namun langkah ini harus terus melangkah
untuk membawa Kabupaten Nganjuk yang lebih baik. Nganjuk masuk sebagai salah
satu jajaran kota tua di Indonesia. Dari berbagai penemuan bukti-bukti sejarah,
disekitar tahun 929 M tepatnya di Desa Candirejo Kecamatan Loceret telah
terjadi pertempuran antara Mpu Sendok melawan Kerajaan dari Melayu atau Sriwijaya.
Sebelumnya pada setiap
pertempuran mulai dari Jawa barat hingga Jawa tengah, Pasukan dari Melayu
selalu mendapatkan kemenangan. Pertempuran kemudian berlanjut di daerah yang
sekarang kemudian dikenal dengan Kabupaten Nganjuk. Untuk pertama kalinya, Tentara
Melayu mengalami kekalahan setelah bertempur melawan pasukan dari Mpu Sendok.
Mpu Sendok bersama dengan rakyat desa-desa sekitar berhasil menggempur pasukan
dari Kerajaan Melayu atau Sriwijaya. Berkat keberhasilan dari pertempuran
tersebut, Mpu Sendok kemudian dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Sri Maharaja
Mpu Sendok Sri Isanawikrama Dharmatunggadewa.
Kurang lebih delapan tahun
setelah kemenangan dalam pertempuran tersebut, Sri Maharaja Mpu Sendok
mendirikan sebuah tugu kemenangan dan sebuah candi. Rakyat desa-desa sekitar
yang ikut andil dalam pertempuran diberi hadiah oleh Mpu Sendok berupa desa
perdikan atau desa bebas pajak dengan status sima swatantra : Anjuk Ladang. Anjuk
berarti tinggi atau dalam arti simbolis adalah mendapatkan kemenangan yang
gemilang. Sedangkan Ladang berarti tanah atau daratan. Sejalan dengan
perkembangan zaman, daerah tersebut kemudian berkembang menjadi daerah yang
lebih luas dan tidak hanya sekedar sebuah desa.
Kata Anjuk kemudian berubah
menjadi Nganjuk adalah karena proses bahasa atau perubahan morfologi bahasa
yang menjadi ciri khas dan struktural bahasa Jawa. Perubahan kata ini terjadi
karena kebiasaan menambah konsonan sengau “NG” masyarakat Jawa pada kata yang
diawali dengan suara vokal. Hal tersebutlah yang menjadikan Anjuk berubah
menjadi Nganjuk.
Sejarah senantiasa dijadikan
sebagai alat legitimasi, salah satunya adalah dalam penentuan hari jadi kota. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh L.C. Damais angka tahun yang tertera pada
prasasti Candi Lor adalah tanggal 12 bulan Caitra tahun 859 Saka atau
bertepatan dengan tanggal 10 April 937 M. Berdasarkan kajian inilah maka
tanggal 10 April 937 dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Nganjuk yang
diperingati setiap tahunnya.
Nganjuk muncul tercatat
dalam sejarah setelah penelitan yang dilakukan terhadap peninggalan-peninggalan
sejarah berupa Prasasti dan Candi. Prasasti tersebut memuat tulisan yang berisi
mengenai keadaan daerah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Nganjuk
tersebut. Tulisan dari prasasti tersebut menjadi bukti bahwa karya tulis
merupakan suatu hal yang sangat penting. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer “Karena
Kau Menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh
dikemudian hari”.
Selain Prasasti Anjuk
Ladang, terdapat juga peninggalan-peninggalan lain seperti prasasti yang
ditemukan di Desa Tanjungkalang Kecamatan Ngronggot yang berangka tahun 849
Saka atau 927 M dan prasasti yang ditemukan di Desa Kujonmanis Kecamatan
Tanjunganom yang berangka tahun 856 Saka atau 934 M. Dari prasasti tersebut,
Prasasti Anjuk Ladanglah yang kemudian berhasil membawa Nganjuk tercatat dalam
Sejarah Indonesia Kuno.
Setelah periode Sri Maharaja
Mpu Sendok, keberadaan Nganjuk mengalami masa kesuraman karena tidak
ditemukannya peninggalan-peninggalan sejarah. Baru kemudian pada masa Kerajaan
Majapahit Nganjuk muncul kembali dalam catatan sejarah. Hal tersebut didasarkan
pada peninggalan dari Kerajaan Majapahit berupa Candi tempat penyimpanan abu
dari Raja Hayam Wuruk. Candi tersebut dikenal dengan Candi Ngetos sesuai dengan
lokasi candi tersebut yaitu di Ngetos. Dalam Kita Negarakertagama karangan dari
Mpu Prapanca pada pupuh 77 dan 78 dijelaskan bahwa jumlah desa perdikan atau
desa swatantra pada masa Kerajaan Majapahit terdapat sebanyak 200 desa yang
salah satu diantaranya adalah Sima Swatantra Anjuk Ladang.
Munculnya
Pemerintahan
Berdasarkan akte komisaris
daerah-daerah keraton yang telah diambil alih dan ditanda tangani pada tanggal
16 Juni 1831 di Semarang oleh Van Lawick ditunjuk beberapa penguasa pribumi
untuk menjadi bupati, yaitu adalah Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo (Kanjeng
Jimat) sebagai Bupati Kabupaten Berbek, Raden Toemenggoeng Brotodikoro sebagai
Bupati Kabupaten Ngandjoek dan Raden Toemenggoeng Soemodipoero sebagai Bupati
Kabupaten Kertosono.
Pada kurun waktu selanjutnya
ketiga kabupaten tersebut kemudian dijadikan satu (merger) dengan Kabupaten
Berbek. Hal tersebut dapat dilihat dari surat Residen Kediri tanggal 20
September 1852 yang menyebutkan bahwa Kabupaten Berbek meliputi 8 distrik. Kedelapan
distrik tersebut adalah Berbek, Godean, Siwalan, Ngandjoek, Gemenggeng,
Kertosono, Waroedjayeng dan Lengkong.
Kemudian pada masa Kanjeng
Raden Toemenggoeng Sosroekoesoemo III (1878-1901), Ibu Kota Kabupaten dari Berbek
dipindahkan ke Ngandjoek pada Sabtu, 21 Agustus 1880. Perpindahan tersebut
terkait dengan pembangunan jalur transportasi yaitu jalur kereta api
Surabaya-Solo yang melintasi Ngandjoek. Ibu Kota kemudian dipindahkan dekat
dengan jalur transportasi seperti yang dilakukan oleh beberapa kota yang
dilintasi oleh De Groote Postweg (Jalan Pos) atau yang sekarang disebut dengan
jalur Pantai Utara. Peristiwa boyongan
tersebut kemudian dijadikan sebagai pelengkap peringatan hari jadi Kabupaten
Nganjuk dengan arak-arakan dari Kecamatan Berbek (sekarang) menuju Kecamatan
Nganjuk.
Selamat Hari Jadi Kabupaten
Nganjuk, Tempat Didikan Kecil Yang Indah. Menang-Menanglah Kabupaten Nganjuk,
Seperti Arti Dari Anjuk Ladang Yang Berarti Tanah Kemenangan!


