Oleh : Muhamad Rohman Obet
Salam ala Nazi,
panji-panji besar dengan simbol-simbol Nazi dan nyanyian-nyanyian rasial
mengiringi konvoi sekelompok massa di Kota Roma. Ini bukan terjadi pada zaman
Perang Dunia II. Ini adalah ciri khas dukungan dari sebuah sebuah supporter
sepak bola dari kesebalasan SS Lazio di Italia. Hal tersebut merupakan ideologi
Neo-Nazi yang berkembang di Eropa.
Neo-Nazi adalah
ideologi dan gerakan pasca perang dunia II yang bertujuan untuk menyegarkan
kembali ideologi Nazi. Sebenarnya ideologi yang digunakan oleh Neo-Nazi berbeda
dengan ideologi Nazi, namun Mereka tetap mengagungkan Adolf Hitler, rasisme,
patriotisme kaum kulit putih dan militerisme. Beberapa kelompok dan individu
yang mendukung ideologi ini mendeklarasikan diri secara terbuka sebagai
Neo-Nazi.
Di ranah politik
formal, fasisme memang tak pernah mati. Banyak partai-partai politik berbasis
paham Neo-Nazi di Eropa. Di Inggris misalnya, terdapat Partai Nasional Inggris
(BNP). Partai ini merupakan partai politik sayap kanan ekstrem yang hanya
beranggotakan orang kulit putih.
Dalam masalah rasisme
di dunia persepakbolaan, Neo-Nazi memiliki peran yang tidak sedikit. Rasisme
memang sering menghantui setiap pertandingan di turnamen-turnamen di Eropa.
Negara-negara seperti Italia, Perancis, Jerman dan Spanyol kerap mendapat
sorotan atas masalah tersebut. Klub-klub seperti AS Roma, Lazio, Paris St.
Germain dan lain-lain juga belum bisa keluar dari ancaman masalah rasisme.
Tingkah laku para
penonton rasis di negara-negara Eropa seperti Spanyol, Italia dan Inggris
sangat mengganggu eksistensi sepak bola sebagai olahraga yang sangat menjunjung
tinggi fair play. Masalah rasisme di
sepak bola sejalan dengan kecenderungan merebaknya gerakan Neo-Nazi.
Pada ajang Piala Dunia
1934 di Italia, Bennito Mussolini mempertontonkan superioritas fasisme.
Mussolini adalah pendukung klub Lazio. Berhubungan ataupun tidak, Ultras Lazion
kemudian dikenal sangat rasis. Kelompok Ultras Lazion yang paling ekstrem
adalah Irridducibili. Mereka sangat membenci kaum kulit hitam dan bangsa
Yahudi.
Kebangkitan rasisme di
stadion-stadion sepak bola Italia adalah cermin dari maraknya fasisme di negeri
ini. Partai Aliansi Nasional, penerus partai Mussolini mampu merebut perhatian
dari khalayak muda. Partai ini bahkan sudah pernah memerintah ketika ikut dalam
koalisi pemerintahan Perdana Menteri Silvio Berlusconi beberapa tahun lalu.
Di eropa, partai-partai
ultra-kanan memang perlahan-perlahan mulai memperoleh suara signifikan dalam
pemilihan umum. Di Perancis, Italia dan Jerman, partai-partai ekstrem kanan ini
bisa memperoleh sekitar 10 persen suara. Sementara di Austria, partai kebebasan
malah mengejutkan dunia karena berhasil merebut tampuk kekuasaan.
Memang kampanye
anti-rasisme digalakkan, tetapi denda terhadap klub dengan penonton kulit putih
terus berjatuhan. Disetiap pertandingan banyak tulisan-tulisan “Againt Racism” dipinggiran lapangan,
namun hal tersebut dirasa hanya sekedar tulisan tanpa tanggapan dari para
pembacanya. Hal tersebut menjadi bukti bahwa kemajuan Eropa saja rupanya belum
cukup untuk meyakinkan kesadaran sederajat. Penghinaan dengan menirukan suara
monyet, lemparan kacang dan pisang cukup menjadi bukti bahwa masih banyak
manusia yang mengaku beradab namun tidak sadar akan bersederajat. Sepak bola
seharusnya memupus semua kesombongan sekat budaya, politik, sosial dan agama,
bukan justru sebagai ajanga aktualisasi sosial-politik yang saling menikam.
